Muslim yang Disiplin
Salah satu dari kekurangan muslim secara umum adalah
perilaku disiplin. Secara umum mayoritas individu yang berasal dari negara berkembang
terkena penyakit ini. Secara definisi, disiplin adalah kemauan yang instan
untuk taat dan hormat pada aturan yang berlaku baik itu aturan agama, etika
sosial maupun tata tertib organisasi, baik diawasi ataupun tidak.
Seseorang yang disiplin ketika melakukan suatu
pelanggaran walaupun kecil akan merasa bersalah terutama karena ia merasa telah
mengkhianati dirinya sendiri. Perilaku khianat akan menjerumuskannya pada
runtuhnya harga diri karena ia tak lagi dipercaya. Sedangkan kepercayaan
merupakan modal utama bagi seseorang yang memiliki akal sehat dan martabat yang
benar untuk dapat hidup dengan tenang (sakinah) dan terhormat.
Dengan demikian, sikap disiplin adalah suatu
keharusan. Dalam bahasa Nabi, perilaku disiplin itu tersirat dalam sifat ihsan.
Dalam sebuah Hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Ihsan
adalah menyembah Allah SWT seakan-akan kamu melihat-Nya. Konsekuensi dari
perilaku ihsan adalah komitmen untuk melakukan segala aturan Allah SWT, menjalani
perintah dan menjauhi larangan-Nya saat sendirian maupun saat ada orang yang
mengawasi.
Perilaku ihsan kepada Allah idealnya tidak didasarkan
pada rasa takut, tapi pada rasa cinta terhadap Allah SWT dan cinta pada diri
sendiri.
Pertama, dengan dasar cinta kepada Allah, maka
ketaatan pada syariah Allah bukan karena rasa takut tetapi karena didorong
semangat untuk menyenangkan-Nya. Ibarat cinta seorang ibu pada putranya yang
tak membutuhkan timbal balik. Bukan karena ingin sorga-Nya, ataupun takut akan
neraka-Nya.
Kedua, cinta pada diri sendiri. Perilaku disiplin
hendaknya juga didorong oleh rasa cinta pada diri sendiri. Karena setiap
perbuatan baik pada dasarnya untuk kepentingan diri sendiri walaupun terkesan
untuk kepentingan orang lain.
“Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri,
dan jika kamu berbuat jahat, maka kerugian kejahatan itu untuk dirimu sendiri…”
(Q.S. Al-Isra’ 17:7).
Cinta pada diri sendiri bermakna bahwa seseorang akan
sekuat tenaga menjaga kehormatan, harga diri dan martabat pribadi dengan
berusaha selalu menaati segala aturan yang berlaku, baik aturan Allah maupun
aturan antar-manusia yang sudah disepakati bersama.
Kesadaran bahwa perilaku disiplin diri atau ihsan
sebagai bentuk dari kecintaan manusia pada dirinya sendiri itu sangatlah
penting. Korupsi, pencurian, perzinahan dan tindakan kriminal serta asusila
lainnya tak akan ada. Karena semua tindakan kriminal, asusila dan pelanggaran
yang lain timbul dari lemahnya kesadaran bahwa segala perbuatan yang melanggar
aturan Allah dan manusia pada dasarnya akan merusak diri sendiri.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya)
untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya
hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Fushshilat 41:46).
“Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh maka itu adalah untuk
dirinya sendiri, dan barang siapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa
dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.” (Q.S.
Al-Jatsiyah 45:15).
Beberapa contoh disiplin yang umum diterapkan seorang
Muslim yaitu disiplin dalam beribadah, penggunaan waktu dan bermasyarakat.
1. Disiplin
dalan beribadah
Menurut bahasa, ibadah
berarti tunduk atau merendahkan diri. Pengertian yang lebih luas dalam ajaran
Islam, ibadah berarti tunduk dan merendahkan diri hanya kepada Allah yang
disertai dengan perasaan cinta kepada-Nya. Dari pengertian tersebut dapat
diketahui bahwa disiplin dalam dalam beribadah itu mengandung dua hal, yaitu:
a. Berpegang
teguh terhadap apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah
atau larangan, maupun ajaran yang bersifat menghalalkan, menganjurkan, sunnah,
makruh, mubah dll;
b. Sikap
berpegang teguh yang berdasarkan cinta kepada Allah, bukan karena rasa takut
atau terpaksa. Maksud cinta kepada Allah adalah senantiasa taat kepada-Nya.
2. Disiplin
dalam penggunaan waktu
Tak dapat dipungkiri bahwa
orang-orang yang berhasil mencapai sukses dalam hidupnya adalah orang-orang
yang hidup teratur dan berdisiplin dalam memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak
akan datang dengan sendirinya, akan tetapi melalui latihan yang ketat dalam
kehidupan pribadinya. Ada empat cara agar kita tidak menjadi orang-orang yang
melalaikan waktu, antara lain beriman, beramal saleh, saling berwasiat dalam
kebenaran, dan saling berwasiat dalam kesabaran.
Dalam kehidupan ini,
secara sadar atau tidak sadar, seringkali kita menyia-nyiakan waktu untuk
hal-hal yang tidak bermanfaat, bahkan kadang-kadang merugikan. Dalam sebuah
hadits yang diriwiyatkan oleh Baihaqy dari Ibnu Abbas r.a, Rasulullah saw.
bersabda:
“Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima
perkara yang lain. Hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, sempatmu
sebelum sempitmu, masa mudamu sebelum tuamu dan kayamu sebelum miskinmu.”
3. Disiplin
dalam bermasyarakat
Hidup bermasyarakat adalah
fitrah manusia. Dilihat dari latar belakang budaya setiap manusia memiliki
latar belakang yang berbeda. Karenanya setiap manusia memiliki watak dan
tingkah laku yang berbeda pula. Namun demikian, dengan bermasyarakat mereka
telah memiliki norma dan nilai kemasyarakatan serta peraturan yang disepakati
bersama yang harus dihormati dan dihargai serta ditaati oleh setiap anggota
masyarakat tersebut. Agama Islam mengibaratkan anggota masyarakat itu bagaikan
satu bangunan yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang satu sama lain
mempunyai fungsi yang berbeda, manakala salah satu komponen rusak atau binasa.
Hadist Nabi SAW menegaskan:
"Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan
bangunan yang sebagian dari mereka memperkuat bagian lainnya. Kemudian beliau
menelusupkan jari-jari tangan sebelah lainnya". (H.R. Bukhori Muslim dan
Turmudzi).
Tidak disiplin dalam melaksanakan aturan agama tentu
akan mendapat sanksi dari Allah SWT baik sanksi duniawi maupun di akhirat. Orang
tidak disiplin dalam memenuhi ajaran agama bisa karena berbagai alasan seperti
tidak paham bahwa agama itu memilki aturan untuk dilaksanakan, dianggapnya
cukup mengakui adanya Allah; paham ada aturan agama namun sengaja mengabaikan
karena tidak memahami akan adanya sanksi kehidupan terkait itu; tahu dan taat
pada aturan agama namun hanya sebagian saja, seperti hanya menganggap agama itu
masalah ibadah dan hanya berimplikasi pada kehidupan akhirat; beragama hanya
karena tradisi sosial-budaya sehingga dengan mudah dia akan membuang agama atau
pindah dari satu agama ke agama lain dan bahkan menjelek-jelekkan agama yang
ditinggalkannya. Islam jelas menekankan adanya sanksi sangat berat bagi manusia
seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar