BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Demokrasi
adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi maksudnya memperbincangkan tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya
pengelolaan kekuasaan secara beradab. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan
orang (people rule) dalam sistem
politik yang demokratis dimana warga mempunyai hak, kesempatan, dan suara yang
sama dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Di Indonesia, pergerakan
nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokratis yang berwatak
anti-feodolisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan untuk membentuk masyarakat
madani.
Masyarakat
madani merupakan suatu bentuk hubungan negara dan warga masyarakat (sejumlah
kelompok sosial) yang dikembangkan atas dasar toleransi dan menghargai satu
sama lain. Landasan demokrasi adalah keadilan, yang berarti terbukanya peluang
kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang
bersangkutan untuk mengatur hidupnya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Maka
dari itu terbentuklah otonomi daerah.
Sejarah
panjang perjuangan dan melelahkan pada akhirnya membuahkan kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Sejarah pun berlanjut, tiga sistem politik yang
berbeda, masing masing mengatasnamakan ‘demokrasi’ telah di tegakkan selama
kurang lebih setengah abad terakhir.
Gagalnya
usaha untuk kembali ke UUD 1945 melalui Konstituante dan peristiwa-peristiwa
politik yang mencapai klimaksnya pada bulan Juni 1959 mendorong Presiden
Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah muncul suatu keadaan kacau
yang membahayakan kehidupan negara. Atas kesimpulannya tersebut, Presiden
Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan
berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni
demokrasi terpimpin pada tanggal 5 Juli 1959 di Istana Merdeka.
Dekrit
yang disampaikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan
sambutan dari masyarakat Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan
kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya
berasal dari sambutan yang meriah tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan
oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung. Dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9
Juli 1959 diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden
Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak
sebagai menteri pertama.
1.2.Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu untuk menjelaskan segala sesuatu yang
berhubungan dengan demokrasi terpimpin, berupa sejarah awal munculnya demokrasi
terpimpin; fungsi dari adanya demokrasi terpimpin; pelaksanaan demokrasi
terpimpin; demokrasi terpimpin ditinjau dari demokrasi modern; kebijakan politik
pada masa demokrasi terpimpin; konsep dalam demokrasi terpimpin; serta
kelebihan dan kelemahan dari demokrasi terpimpin. Dengan berbagai penjelasan
tersebut, makalah ini menjadi sangat bermanfaat sebagai media pembelajaran di masa
kini.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1.
Sejarah Awal Terbentuknya Demokrasi Pemimpin
Di
awali dari maklumat Hatta sebagai wakil presiden, dimana dalam maklumat
tersebut menganjurkan perlunya pembentukan partai-partai yang ternyata mendapat
sambutan luas hingga pada waktu itu terdapat 40 partai yang lahir di Indonesia.
Namun pada kenyataannya kabinet-kabinet yang ada tidak pernah bertahan sampai 2
tahun penuh. Selain itu sering terjadi perombakan dengan kabinet yang baru,
bahkan menurut penilaian Soekarno banyaknya partai hanya memperunyam masalah
dan hanya menjadi penyebab perpecahan. Bahkan beliau sempat menilai bahwa
partai itu adalah semacam pertunjukan adu domba yang tidak berpengaruh bagi
bangsa dan negara.
Latar
belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Soekarno yaitu:
1. Dari segi keamanan: banyaknya gerakan
sparatis pada masa demokrasi liberal menyebabkan ketidakstabilan di bidang
keamanan.
2. Dari segi perekonomian: terjadinya
pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang
dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan
ekonomi tersendat.
3. Dari segi politik: Konstituante gagal
dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950
Menurut
pengamatan Soekarno, demokrasi liberal tidak mendorong Indonesia untuk mendekati
tujuan revolusi yang dicita-citakan, yaitu berupa masyarakat yang adil dan
makmur, sehingga pembangunan ekonomi sulit untuk berkembang, karena setiap
pihak pegawai negeri, partai politik bahkan militer saling berebut keuntungan
dengan mengorbankan yang lain.
Keinginan
Soekarno untuk mengubur partai-partai yang ada pada waktu itu tidak jadi
dilakukan, namun pembatasan terhadap partai diberlakukan, yang akhirnya
menambah besarnya gejolak dari internal partai yang dibubarkan serta dari para
tokoh-tokoh yang memperjuangkan 'demokrasi liberal'. Dengan keadaan tersebut,
akhirnya Soekarno menerapkan 'demokrasi terpimpin'.
Sebagai
tindak lanjut usulannya, diadakan voting yang diikuti oleh seluruh anggota
Konstituante. Voting ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul
dari pro dan kontra mengenai usulan Soekarno tersebut.
Hasil
voting menunjukan bahwa:
1. 269 orang setuju untuk kembali ke UUD
1945
2. 119 orang tidak setuju untuk kembali ke
UUD 1945
Melihat
dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota Konstituante yang menyetujui usulan
tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal
137 UUDS 1950.
Demokrasi
Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu sejak
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga jatuhnya kekuasaan Soekarno.
Disebut sebagai demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu
mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Soekarno. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950
2. Berlakunya kembali UUD 1945
3. Dibubarkannya Konstituante
4. Pembentukan MPRS dan DPAS
2. 2.
Fungsi dari Adanya Demokrasi Terpimpin
Demokrasi
terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak stabil sebagai
warisan masa demokrasi parlementer (liberal) menjadi lebih stabil.
Demokrasi
terpimpin merupakan reaksi terhadap demokrasi parlementer (liberal). Hal ini
disebabkan karena pada masa demokrasi parlementer kekuasaan presidennya hanya
terbatas sebagai kepala negara. Sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan
oleh partai.
2. 3.
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
Dalam
demokrasi terpimpin ini menggunakan sistem presidensil, yang mempunyai dua hal
penting yaitu:
1. Kedudukan presiden sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan;
2. Para menteri bertanggung jawab kepada
presiden.
Tahun
1945-1949: sistem pemerintahan demokrasi Pancasila yang diamanatkan oleh UUD
1945 belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena negara dalam keadaan darurat
dalam rangka mempertahankan kemerdekaan, KNIP berubah fungsi menjadi MPR
Tahun
1949-1950: berlaku Konstitusi RIS. Indonesia dibagi dalam beberapa negara
bagian. Sistem pemerintahannya berupa parlementer (liberal)
Tahun
1959-1965: pada periode ini sering disebut dengan Orde Lama. UUD yang digunakan
adalah UUD 1945 dengan sistem demokrasi terpimpin. Presiden tidak bertanggung
jawab kepada DPR, presiden dan DPR berada di bawah MPR.
Tahun
1966-1998: pada periode ini dikenal dengan sebutan pemerintahan Orde Baru yang
bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam
pelaksanaannya sebagai akibat dari kekuasaan dan masa jabatan presiden,
sehingga terjadilah penyalahgunaan kekuasaan, dengan tumbuh suburnya budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tahun
1998-sekarang: demokrasi yang dikembangkan pada masa reformasi adalah demokrasi
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan penyempurnaan pelaksanaannya dan
perbaikan peraturan-peraturan yang tidak demokratis, dengan meningkatkan peran
lembaga tinggi negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab.
Dalam
suasana yang mengancam keutuhan teritorial sebagaimana kata Feith, dan ancaman
perpecahan sebagaimana kata Soepomo, muncullah gagasan ‘demokrasi terpimpin’
yang dilontarkan oleh Soekarno. Mula mula pandangan ini dicetuskan oleh partai
Murba, serta Chaerul saleh dan Ahmadi.
Konsep
demokrasi terpimpin yang hendak membawa PKI masuk ke dalam kabinet ini juga
menyebutkan dibentuknya lembaga negara baru yang ekstra konstitusional, yaitu
Dewan Nasional yang akan diketuai oleh Soekarno. Beliau bertugas dalam memberi
nasehat kepada kabinet. Maka perlu dibentuk kabinet baru yang melibatkan semua
partai. Dewan Nasional beranggotakan wakil-wakil seluruh golongan fungsional.
Menurut
Yusril Ihza Mahendra, sebelum 'Dewan Nasional' ini dibentuk gagasan awal
tentang namanya adalah 'Dewan Revolusi'. Dewan Nasional ini tidak sejalan
dengan konstitusi yang ada pada waktu itu. Peranannya memang cukup menentukan,
yaitu sebagai 'penasehat' pemerintah yang dalam prakteknya telah menjadi
semacam DPR.
Setelah
dekrit presiden 5 juli 1959 kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada
presiden melalui pemberlakuan kembali UUD 1945, Soekarno langsung memimpin
pemerintahan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang membentuk
kabinet, yang menteri-menterinya tidak terikat kepada partai.
Pembentukan
Dewan Nasional ini, berdasarkan atas amanat keadaan darurat dan bahaya perang
yang diumumkan oleh Soekarno sebelum terbentuknya kabinet Djuanda itu.
Mengingat Indonesia pada saat itu memang dalam keadaan genting dan potensi
konfliknya pada keutuhan negara lebih besar.
Sementara
kegentingan demi kegentingan yang terjadi, Soekarno sebagai seorang organisator
sekaligus pengagum persatuan dan kesatuan, tidak tinggal diam dan tidak
kehabisan akal. Soekarno melakukan upaya dengan menggandeng 2 kekuatan besar
dan yang paling potensial di Indonesia pada waktu itu, yaitu PKI dan AD atau
militer. Walaupun pada kenyataannya kedua kekuatan ini selalu terdapat pro dan
kontra, namun bisa jinak ditangan Soekarno.
Mula-mula
2 kekuatan ini dimanfaatkannya pada isu imperialisme dan kapitalisme yang
mengancam Indonesia. Berhubung pada waktu itu Irian Barat masih dikuasai oleh
penjajah, maka isu ini dipakai Soekarno untuk mengamanatkan agar Irian Barat
selekas-lekasnya dapat dibebaskan serta berupaya supaya Indonesia kembali dalam
posisi pemerintahan yang utuh.
Dalam
teorinya bahwa Soekarno membutuhkan PKI karena merasa terancam akan kudeta yang
dilakukan militer pada waktu itu, khususnya sebagai kekuatan potensial yang
sewaktu-waktu dapat menyingkirkan Soekarno dari jabatan pimpinan.
Menurut
keterangan Yusril Ihza Mahendra, sejalan dengan gagasan 'demokrasi terpimpin',
kalangan tentara di bawah pimpinan Mayjend Abdul Haris Nasution, aktif
berkampanye tentang perlunya kembali ke UUD 1945. Nilai-nilai dan semangat akan
tetap terpelihara jika negara kembali kepada UUD 1945. Ide ini tampaknya
bertemu dengan ide Soekarno dalam rangka menerapkan demokrasi terpimpin. Sebab
menurut Yusril, demokrasi semacam itu memang menghendaki adanya pemusatan
kekuasaan di tangan presiden, sementara UUD 1945 memungkinkan perwujudan hal
itu. Sebaliknya, jika menunggu Konstituante menyelesaikan tugasnya memnyusun
Undang-Undang yang baru, belum tentu isinya sama dengan gagasan demokrasi
terpimpin tadi.
Gabungan
Ide Soekarno dan A.H. Nasution ini disampaikan ke sidang Dewan Nasional dan
dewan tersebut berpendapat bahwa gagasan demokrasi terpimpin dapat terlaksana
jika dikembalikan kepada UUD 1945. Kemudian dibawa ke rapat kabinet dan di
dalam rapat itu juga disetujui tentang gagasan demokrasi tersebut.
Keputusan
Dewan Menteri tersebut disampaikan perdana menteri Djuanda kepada sidang
paripurna DPR, yang berjudul 'Putusan Dewan Menteri Mengenai Pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin Dalam Rangka Kembali Ke UUD 1945'. Dengan kembali ke UUD
1945, pelaksanaan demokrasi terpimpin akan lebih terjamin.
Dalam
sistem demokrasi terpimpin terdapat pemisahan kekuasaan lembaga eksekutif yang
terdiri dari prosedur sebagai kepala pemerintahan dan dibantu oleh para
menteri. Menteri tersebut memimpin sebuah lembaga departemen pemerintahan yang
bertanggung jawab kepada presiden. Para menteri tersebut diangkat oleh
presiden.
2. 4.
Demokrasi Terpimpin Ditinjau dari Demokrasi Modern
Dalam
periode demokrasi terpimpin, pemikiran demokrasi ala Barat banyak ditinggalkan
bahkan lebih nampak gambarannya saat sebelumnya demokrasi parlementer telah
berkuasa di Indonesia.
Soekarno
sebagai pemimpin tertinggi pada era demokrasi terpimpin menyatakan bahwa
demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Prosedur
pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakan tidak efektif,
kemudian Soekarno memperkenalkan 'musyawarah mufakat'. Banyaknya partai politik
adalah penyebab tidak adanya pencapaian hasil dan sulit dicapai kata 'sepakat'
karena terlalu banyak berdebat.
Dari
kacamata demokrasi modern kita menyaksikan semuanya dirubah, semua kelihatan
berganti namun sesungguhnya tidak ada yang berganti dan berubah, yang pada saat
ini semua serba mudah dan terkesan dimudahkan. Memang demokrasi terpimpin agak
terasa asing, namun apa yang terjadi di masa lalu itu karena kehendak waktu dan
peristiwa menginginkan yang demikian itu ada.
2. 5.
Kebijakan Politik Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Kebijakan
politik yang dilakukan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin terkesan
otoriter. Banyak kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi mulai
dibubarkannya DPR hasil Pemilu tahun 1955 hingga penetapan Soekarno sebagai presiden
seumur hidup. Bahkan Soekarno membuat poros tersendiri dengan menjauh dari
politik luar negeri bebas aktif.
Politik
atau kebijakan luar negeri pada hakikatnya merupakan ‘perpanjangan tangan’ dari
politik dalam negeri sebuah negara. Politik luar negeri suatu negara sedikitnya
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kondisi politik dalam negeri; pengambil
keputusan; kemampuan ekonomi dan militer; dan lingkungan internasionalnya.
Sejak Bung Hatta berpidato, Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif
yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu
blok negara-negara super power.
Seperti
diamanatkan dalam konstitusi, Indonesia juga menentang segala bentuk penjajahan
di atas muka bumi ini, dan menegaskan bahwa politik luar negeri harus diabdikan
untuk kepentingan nasional. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri merupakan
cerminan dari politik dalam negeri dan dipengaruhi perubahan dalam tata
hubungan internasional baik dalam bentuk regional maupun global.
Namun,
pada masa demokrasi terpimpin terlihat ada beberapa penyimpangan dari politik
luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros.
Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada
negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik
konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentan Nefo (New Emerging Forces) dan
Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang
muncul yaitu negara progresif revolusioner yang anti-imperialisme dan
kolonialisme. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yaitu
negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis.
Tampak
bahwa politik luar negeri bebas aktif Indonesia pada masa Soekarno condong ke
isu-isu high politic dan perjuangan
bangsa Indonesia dalam membangun image
sebuah negara besar dan berpengaruh di tingkat regional maupun internasional
untuk setara dengan negara-negara lain. Hal ini tidak lepas dari kondisi bangsa
Indonesia yang pada saat itu baru merdeka dan sedang membangun nation dan state-buildingnya. Kesatuan politik lebih penting bagi Soekarno
pada waktu itu daripada membangun basis ekonomi rakyat. Tak heran, semua itu telah
tercermin dalam aksi dan reaksi serta interaksi politik luar negeri Indonesia
di bawah kepemimpinan Soekarno.
Namun,
dalam kebijakan yang semakin menyimpang pun semakin berdampak pada kondisi di
dalam negeri. Salah satu dampak dalam hal ekonomi adalah kenaikan laju inflasi
yang disebabkan oleh penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya
yang semakin merosot. Nilai mata uang merosot, anggaran belanja mengalami
defisit yang besar, pinjaman dari luar negeri tidak mampu mengatasi masalah,
upaya dari pihak pemerintah dan swasta untuk menghemat dan mengawas pelaksanaan
anggaran belanja pun tidak berhasil, penertiban administrasi dan manajemen
perusahaan tak berpengaruh, dan penyaluran kredit baru pada usaha yang dianggap
penting mengalami kegagalan. Dari sisi politik, inflasi pun terjadi karena
pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan
pengeluaran, serta karena pemerintah menyelenggarakan proyek mercusuar seperti
GANEFO (Games of the New Emerging Forces)
dan CONEFO (Conference of the New
Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluaran pada
setiap tahunnya. Hal ini berdampak bagi kehidupan dalam negeri.
Pada
tahun 1961, Indonesia harus membiayai kekurangan neraca pembayaran dari cadangan
emas dan devisa, kegiatan ekspor semakin buruk dan kegiatan impor dibatasi
karena lemahnya devisa. Pada tahun 1965, cadangan emas dan devisa telah habis,
bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar US $ 3 juta sebagai dampak politik
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Dampak dari kebijakan pada
masa demokrasi terpimpin yaitu uang rupiah baru seharusnya bernilai 1000 kali
lipat dari uang rupiah lama, akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya
dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang rupiah lama; tindakan
moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi menyebabkan meningkatnya angka
inflasi.
2. 6.
Konsep Dalam Demokrasi Terpimpin
Soekarno
sampai dengan akhir hayatnya tetap bertahan terhadap ide Nasakom (Nasionalis,
Agamis dan Komunis) yang mengatakan bahwa kekuatan politik di Indonesia pada
saat itu terdiri dari tiga golongan ideologi besar yaitu golongan yang
berideologi nasionalis; golongan yang berideologi dengan latar belakang agama;
serta golongan yang berideologi komunis. Tiga-tiganya merupakan kekuatan yang
diharapkan tetap bersatu untuk menyelesaikan masalah bangsa secara
bersama-sama.
Setiap
orang boleh punya persepsi dan pendapatnya sendiri untuk hal ini. Namun
nyatanya Soekarno adalah seorang nasionalis, yang ide Nasakom semata-mata
dicetuskan berdasarkan realitas masyarakat pada saat itu demi tercapainya
persatuan dan kesatuan negara. Indonesia menginginkan suatu kolaborasi total
semua anasir bangsa dari semua golongan ideologi yang ada untuk bahu-membahu
membangun Indonesia.
Ide
Bung Karno tentang Nasakom berkaitan dengan pendapat Clifford Geertz yang dalam
bukunya "The Religion of Java " yang membagi masyarakat Jawa dalam
tiga varian yaitu priyayi, santri, dan abangan. Priyayi adalah kaum nasionalis,
santri adalah kaum agamis, dan abangan adalah kaum komunis.
Realitas
sejarah memang berkata lain setelah terjadinya peristiwa pembunuhan para
Jendral dan PKI pada 30 September 1965 yang sampai sekarang masih menyimpan
banyak misteri dan pertanyaan. Suatu realitas yang mungkin tidak pernah diduga
oleh Soekarno yaitu ada satu golongan kekuatan dalam peta politik di Indonesia
yang tidak pernah terpikirkan menjadi suatu kekuatan penting dalam peta
perpolitikan Indonesia yaitu kaum militer.
Setelah
terjadi peristiwa 30 September 1965 dan ide Nasakom tersebut musnah, kekuatan
kaum komunis digantikan oleh satu kekuatan politik baru yaitu kaum militer.
Namun, kaum militer tidak pernah mengakui bahwa mereka adalah satu kekuatan
politik yang telah mendominasi Indonesia selama 32 tahun. Mereka selalu
mengatakan bahwa militer berdiri di belakang semua golongan.
2. 7.
Kelebihan dan Kelemahan dari Demokrasi Terpimpin
Kelebihan
dari adanya demokrasi terpimpin yaitu:
1. Menampakkan derajat Indonesia di forum
dunia
2. Indonesia menjadi salah satu kekuatan
militer yang patut diperhitungkan di Asia
3. Tertatanya kehidupan politik Indonesia
4. Terbentuknya lembaga negara
5. Kemiliteran lebih terkoordinir
Kelemahan
dari adanya demokrasi terpimpin yaitu:
1. Segi ekonomi rakyat kurang diperhatikan
karena banyaknya kebijakan politik
2. Konsep Pancasila tidak digunakan, yang
digunakan adalah NASAKOM (Nasionalis, Agamis dan Komunis).
3. Pemusatan pada presiden, sehingga
terlalu mendominasi
4. Parlemen dalam demokrasi ini lemah
5. Terjadi devaluasi mata uang
2. 8.
Penyimpangan dalam Demokrasi Terpimpin
Beberapa
penyimpangan yang terlihat pada demokrasi terpimpin yaitu:
1. Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden
berada di bawah MPR. Namun, kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab
MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh
MPRS. Hal tersebut tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat
Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengangkatan wakil
ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI
yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
2. Pembentukan MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD
1945, seharusnya pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara
dilakukan melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh
rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR. 7 anggota MPRS ditunjuk dan
diangkat oleh Presiden apabila mereka setuju kembali kepada UUD 1945, setia
kepada perjuangan Republik Indonesia, dan setuju pada manifesto politik.
Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan
200 orang wakil golongan. Tugas MPRS terbatas untuk menetapkan Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN).
3. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil
pemilu tahun 1955 dibubarkan karena pada tahun 1960 DPR menolak RAPBN yang
diajukan pemerintah. Presiden menyatakan pembubaran DPR dan sebagai gantinya
presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), dimana semua
anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan DPR-GR juga ditentukan oleh
presiden, sehingga DPR-GR harus mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah.
Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebab berdasarkan UUD
1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR. Tugas DPR-GR yaitu melaksanakan
manifesto politik; mewujudkan amanat penderitaan rakyat; serta melaksanakan
demokrasi terpimpin.
4. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara
Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini
diketuai oleh presiden. Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang wakil ketua,
12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil
golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan
mengajukan usul kepada pemerintah. Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada di
bawah pemerintah (presiden) sebab presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan
karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat agar pidato presiden mengenai
'Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)' ditetapkan sebagai GBHN
berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang
Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK.
5. Pembentukan Front Nasional
Front Nasional dibentuk berdasarkan
Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi
massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung
dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional
menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh
Presiden Soekarno. Tugas front nasional yaitu menyelesaikan Revolusi Nasional;
melaksanakan pembangunan; serta mengembalikan Irian Barat
6. Pembentukan Kabinet Kerja
Pada tanggal 9 Juli 1959, presiden
membentuk Kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Djuanda. Hingga
pada tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (re-shuffle).
Program kabinet antara lain: mencukupi kebutuhan sandang pangan; menciptakan
keamanan negara; serta mengembalikan Irian Barat
7. Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom
Perbedaan ideologi dari partai-partai
yang berkembang pada masa demokrasi parlementer menimbulkan perbedaan pemahaman
mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini berdampak pada terancamnya
persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin pemerintah mengambil
langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara
dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Tujuannya
untuk menggalang persatuan bangsa. Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan
paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan menerima
dan melaksanakan Nasakom maka persatuan Indonesia akan terwujud.
Kelompok yang kritis terhadap ajaran
Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI. Upaya penyebarluasan ajaran
Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa PKI merupakan barisan
terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan ajaran Nasakom
menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara serta menggeser
kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi Komunis. Selain itu, PKI juga
mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah.
8. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI
Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian.
Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatan yang
kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu
golongan fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.
9. Penataan Kehidupan Partai Politik
Pada masa demokrasi parlementer, partai
dapat melakukan kegiatan politik secara leluasa. Sedangkan pada masa demokrasi
terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan presiden No. 7 tahun 1959.
Partai yang tidak memenuhi syarat akan dibubarkan (dibatasi). Tindakan
pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian. Pembatasan gerak-gerik
partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden. Kedudukan
presiden yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan partai
politik yang pernah berjaya pada masa demokrasi parlementer yaitu Masyumi dan
Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan pembubaran partai karena sejumlah
anggota dari kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI dan
Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960.
10. Arah Politik Luar Negeri
Pada awalnya, politik luar negeri
Indonesia adalah politik bebas aktif yang mengabdi pada kepentingan nasional.
Bebas berarti tidak memihak, sedangkan aktif berarti ikut memelihara perdamaian
dunia. Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan politik luar negeri cenderung
mendekati negara-negara blok Timur dan konfrontasi terhadap negara-negara blok
Barat.
Perubahan arah ini disebabkan oleh:
a. Faktor dalam negeri: dominasi PKI dalam
kehidupan politik
b. Faktor luar negeri: sikap negara-negara
Barat yang kurang simpatik dan tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia
Terdapat beberapa penyimpangan politik
pada masa demokrasi terpimpin, yaitu:
a. Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi penyimpangan dari politik
luar negeri bebas aktif yang cenderung pada salah satu poros. Saat itu,
Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada
negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik
konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging
Forces) dan Oldefo (Old Established Forces)
b. Politik Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik
konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju
dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek
neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok
Nefo.
Dalam rangka konfrontasi tersebut,
Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang
berisi:
a) Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
b) Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk
membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
c) Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan
sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur tanggan
Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
c. Politik Mercusuar
Politik mercusuar dijalankan oleh
presiden karena beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang
dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk mewujudkannya maka
diselenggarakan proyek-proyek besar yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia
pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut
membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya
diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang membutuhkan
pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi
asing.
Pada tanggal 7 Januari 1965,
Indonesia keluar dari keanggotaan PBB karena Malaysia diangkat menjadi anggota
tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
d. Politik Gerakan Non-Blok
Gerakan Non-Blok merupakan gerakan
persaudaraan negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh
oleh Blok Barat maupun Blok Timur. Gerakan ini memusatkan perjuangannya
terhadap gerakan kemerdekaan bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan Perang
Dingin. Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik
Indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung
perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi Indonesia, GNB merupakan pancaran dan
revitalisasi dari UUD 1945 baik dalam skala nasional dan internasional.
BAB III
PENUTUP
3. 1.
Kesimpulan
Demokrasi
terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, dimana seluruh
keputusan serta pemikirannya berpusat pada pemimpin.
Pada
tanggal 5 Juli 1959, parlemen dibubarkan dan Presiden Soekarno menetapkan
konstitusi di bawah Dekrit Presiden. Soekarno juga membubarkan Konstituante
sebagai penyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan menyatakan diberlakukannya
kembali UUD 1945. Soekarno memperkuat Angkatan Bersenjata dengan mengangkat
para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
PKI
menyambut “demokrasi terpimpin” Soekarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI
mempunyai kekuasaan untuk persekutuan konsepsi, yaitu antara nasionalisme,
agama dan komunisme yang dinamakan NASAKOM. Di tahun 1962, perebutan Irian
Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan
PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk adat.
Era
'demokrasi terpimpin' merupakan kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan
petani, dan gagal dalam memecahkan masalah-masalah politik dan ekonomi yang
mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus
menaik dan korupsi birokrat dan militer terus berkembang.
Pada
pelaksanaannya, demokrasi terpimpin mengalami berbagai bentuk penyimpangan.
Penyimpangan tersebut diakibatkan oleh terpusatnya kekuatan politik hanya pada
presiden. Era tahun 1959-1966 merupakan era Soekarno, yaitu ketika
kebijakan-kebijakan presiden sangat mempengaruhi kondisi politik Indonesia.
3. 2.
Saran
Penulis
berharap makalah ini bukan hanya untuk menjadi bacaan, namun kajian yang
terkandung di dalamnya terutama yang sesuai dengan UUD 1945, dapat diterapkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun bangsa ini telah merdeka,
nyatanya masih banyak rakyat yang tidak merasakan hasil dari kemerdekaan itu.
Oleh karena itu, sebagai warga negara yang baik kita perlu menanamkan sikap
demokratis.
Meskipun
pemerintah memiliki kebijakan dan kekuasaan yang lebih tinggi, kita patut untuk
berpartisipasi di dalamnya. Misalnya, menaati norma dan aturan yang berlaku
serta berpartisipasi dalam bidang politik melalui pemilihan umum dan
keikutsertaan dalam partai politik. Kekuasaan dan kebijakan pemerintah pun
tidak boleh terlalu membebani masyarakat Indonesia. Pemegang kekuasaan harus
bersikap adil. Dengan begitu, keseimbangan partisipasi dari pemegang kekuasaan
dan masyarakat akan menjadi lebih baik. Indonesia akan menjadi negara yang
adil, makmur dan sejahtera.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.
Suyatno, M.Si. Menjelajahi Demokrasi.
Bandung: Humaniora, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar