Kaitan antara Etika, Hukum dan Agama
“Tinjauan Kasus Transgender dari
Segi Etika, Hukum dan Agama”
Ditujukan untuk
memenuhi tugas mandiri mata kuliah Etika dan Hukum Kesehatan
Dosen Pengampu:
Pramitha Sari, S.Gz, Dietisien, M.H.Kes dan Riastuti Kusuma Wardani, S.KM, M.KM

Disusun
oleh:
Umi Kalsum
11141010000017
Kelas:
I-A
PROGRAM
STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436
H / 2014 M
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Allah swt. yang telah memberikan petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Tinjauan Kasus Transgender dari Segi Etika,
Hukum dan Agama” yang menjelaskan
kasus transgender mulai dari definisi, faktor, hingga tinjauannya dari segi
etika, hukum dan agama. Shalawat serta
salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw. dan para keluarga
serta sahabatnya.
Terima kasih kepada Ibu Riastuti Kusuma
Wardani, S.KM, M.KM dan Pramitha Sari, S.Gz, Dietisien, M.H.Kes selaku dosen
mata kuliah Etika dan Hukum Kesehatan program studi Kesehatan Masyarakat serta
Ibu Hoirun nisa, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah bersedia
membimbing penulis dalam proses pembuatan makalah ini. Tak lupa penulis ucapkan
juga kepada seluruh pihak yang telah mendukung pembuatan makalah ini.
Penulis sadar bahwa penyusunan makalah
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik
dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembacanya. Amin..
Wassalamu alaikum wr. wb.
Jakarta, 03 November
2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang........................................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah...................................................................................................... 2
C.
Tujuan........................................................................................................................ 2
D.
Manfaat...................................................................................................................... 3
E.
Sistematika
Penulisan................................................................................................ 3
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
Transgender.................................................................................................. 4
B.
Faktor
yang Mempengaruhi Terjadinya Transgender................................................ 4
C.
Kedudukan
Kaum Transgender Ditinjau dari Segi Etika.......................................... 5
D.
Transgender
dan Kedudukannya Ditinjau dari Segi Hukum.................................... 6
E.
Transgender
dan Kedudukannya Ditinjau dari Segi Agama..................................... 6
BAB
III PEMBAHASAN
A.
Hasil
Diskusi.............................................................................................................. 9
BAB
IV PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................................ 11
B.
Saran.......................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berkaitan dengan konsep
kesetaraan dan keragaman. Konsep kesetaraan biasanya dihubungkan dengan gender,
status, tingkatan sosial, dan hal lain yang mencirikan persamaan dan perbedaan.
Sedangkan konsep keragaman merupakan hal wajar terjadi pada kehidupan manusia
yang memiliki perbedaan satu sama lain.
Pada dasarnya Allah swt. menciptakan manusia menjadi laki-laki dan perempuan.
Namun, pada kenyataannya selain dua jenis kelamin tersebut ada sebagian manusia
yang mengalami kebingungan dalam menentukan jenis kelaminnya. Kebingungan yang
dimaksud adalah tidak adanya kesesuaian antara jenis kelamin dan kejiwaannya
yang dipengaruhi oleh faktor hormonal dan lingkungan.
Dewasa ini, di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut
menyemarakkan dan mensosialisasikan perilaku “kebancian” di berbagai program
acara talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil
memberikan legitimasi dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk
mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan
seksual.
Akhir-akhir ini kita juga sering mendapatkan berita di media
tentang beberapa orang yang beralih gender dari wanita menjadi pria atau
sebaliknya. Kebanyakan dari mereka merasa dirinya terperangkap di dalam tubuh
yang salah. Seperti yang terjadi pada penyanyi cilik Dena ‘Renaldy’ Rahman. Dia
dikenal sebagai Renaldy saat menjadi penyanyi cilik (laki-laki) di era 90-an.
Namun setelah sekian lama tidak terdengar kabarnya, kini namanya mulai mencuat
lagi setelah isu tentang perubahan jalan hidupnya dalam kasus transgender yang mulai
merebak dan menjadi perbincangan hangat di media maupun dunia maya.
Selain kasus transgender yang terjadi pada Dena ‘Renaldi’ Rahman, beberapa
bulan yang lalu dan sebelumnya telah banyak kasus transgender yang mencuat ke
permukaan seperti Sammuel Brodie karena sering di-bully semasa kecilnya,
Alter & Jane yang ditentang pernikahannya hingga masuk ke ranah hukum, dan
kasus transgender yang terjadi pada Siti Maemunah yang berubah menjadi lelaki (Agus)
dan berhasil mendapatkan pengakuan gendernya setelah keluar putusan hukum dari
Pengadilan Negeri Semarang.
Banyak kisah pada kasus transgender yang terjerumus kehidupan
malam, narkoba, dan sejenisnya karena mencari pelarian dari perasaan terabaikan
utamanya dari keluarga yang tidak dapat menerima perilaku mereka. Padahal sebenarnya
banyak diantara kasus transgender ini yang bisa menjalani kehidupan mereka
secara normal setelah mereka merasa telah diterima oleh lingkungan. Jadi
salahkah para transgender tersebut memutuskan pilihan mereka? Kehidupan ini
tidak sepenuhnya salah atau benar. Namun merupakan jalan kehidupan yang bisa
menjadikan pelajaran hidup antara yang satu dengan yang lainnya.
Fenomena kasus yang dikenal dengan sebutan transgender ini masih
menimbulkan banyak pro dan kontra baik ditinjau dari segi etika, hukum maupun
agama. Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat masalah ini untuk dijadikan
sebagai pembahasan utama dalam makalah berjudul “Tinjauan Kasus Transgender
dari Segi Etika, Hukum dan Agama”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas, yang menjadi
pokok permasalahan adalah:
1.
Bagaimana
tinjauan terhadap kasus transgender dari segi etika?
2.
Apakah
tenaga medis yang melakukan operasi kelamin melanggar kode etik profesinya?
3.
Bagaimana
tinjauan terhadap kasus transgender dari segi hukum?
4.
Bagaimana
tinjauan terhadap kasus transgender dari segi agama?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1.
Untuk
mengetahui status kasus transgender ditinjau dari segi etika.
2.
Untuk
mengetahui status tenaga medis yang menjalankan operasi kelamin terhadap kode
etik profesinya.
3.
Untuk
mengetahui status kasus transgender ditinjau dari segi hukum beserta hukum yang
memperkuatnya.
4.
Untuk
mengetahui status kasus transgender ditinjau dari segi agama beserta dalil yang
memperkuatnya.
D.
Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu:
1.
Bagi
Penulis
Dapat digunakan
sebagai bahan kajian lebih lanjut dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta
mendalami dan menambah wawasan tentang kasus transgender, menjadi bahan evaluasi dan pembelajaran untuk menyusun makalah/karya
tulis lain yang lebih baik lagi.
2.
Bagi
Dosen/Penilai
Membantu dosen memberikan penilaian untuk Ujian Tengah Semester
(UTS).
3.
Bagi
Masyarakat dan Kaum Transgender
Menambah wawasan pengetahuan dan memberikan pemahaman tentang status
dan kedudukan kaum transgender ditinjau dari segi etika, hukum dan agama.
E.
Sistematika Penulisan
Penulis membagi
makalah ini ke dalam empat bab. Dalam Bab I (Pendahuluan) penulis memaparkan
sebuah latar belakang yang adminimenjelaskan alasan mengapa penulis memilih
tema transgender dalam pembuatan makalah ini, rumusan masalah yang menjelaskan
pokok permasalahan kasus transgender, tujuan yang akan penulis capai setelah
membuat makalah ini, serta manfaat yang didapat dari penyusunan makalah ini
bagi penulis, dosen/penilai dan masyarakat. Dalam Bab II (Tinjauan Pustaka)
penulis memaparkan ilmu dan teori yang sudah pernah dibahas berkaitan dengan
kasus transgender disertai dengan sumber yang jelas. Dalam Bab III (Pembahasan)
penulis memaparkan hasil diskusi kelompok berkaitan dengan kasus transgender. Dalam
Bab IV (Penutup) penulis memaparkan kesimpulan yang didapat dari diskusi dan
saran dari penulis berkaitan dengan kasus transgender.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi Transgender
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robet Stoller pada tahun
1968 untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang
bersifat sosial budaya, bukan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik
biologis. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI mengartikan gender
sebagai peran-peran sosial yang dikontribusikan oleh masyarakat, serta tanggung
jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar
peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya, laki-laki dan
perempuan. Gender bukan merupakan kodrat Tuhan ataupun ketentuan Tuhan, oleh
karena itu, gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang
terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka tinggal atau lahir. Gender
seseorang dapat berubah, sedangkan jenis kelamin biologis tetap tidak berubah. (Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan, 1992)
Transgender secara subjektif diartikan dengan orang yang terlahir
memiliki dua alat kelamin atau seseorang yang perilakunya berbeda dengan kodrat
aslinya yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti hormonal dan lingkungan. Seseorang
yang tidak jelas dengan status kelaminnya disebut transgender, yaitu suatu
gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara
bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan
alat kelamin yang dimilikinya. Transgender adalah istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda
dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir. (Winda Novtatika
Anggraeni, 2013)
B.
Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Transgender
Sebab-sebab terjadinya transgender dibagi ke dalam dua bagian, yaitu sebab
dari dalam (intern) dan sebab dari luar (ekstern). Intern adalah sebab yang
berkaitan erat dengan kelainan biologis yang berdampak kepada kecenderungan
psikologis. Kelainan secara biologis dapat diketahui bahwa pembentukan
laki-laki dan perempuan terjadi akibat perbedan jenis/kode kromosom yang berdampak
kepada perkembangan hormon-hormon. Di mana laki-laki berkode kromosom XY dan
perempuan berkode kromosom XX. Dan kode kromosom ini bertambah dari yang hanya
berkode XX menjadi XXY, sehingga yang seharusnya manusia berjenis kelamin
perempuan mempunyai kecenderungan psikologis sebagai laki-laki, begitu pula
sebaliknya. Sebab selanjutnya adalah dari faktor ekstern, di mana dalam hal ini
dapat dihubungkan dangan keadaan sosial atau lingkungan, interaksi sosial
ataupun perlakuan sosial. (Winda Novtatika
Anggraeni, 2013)
Sebenarnya pengidap transgender dapat disembuhkan. Jika seseorang
terlahir dengan dua alat kelamin harus ditentukan mana yang lebih dominan
kemudian mengambil tindakan secara medis melalui operasi kelamin. Berbeda
halnya dengan mereka yang menjadi transgender karena pengaruh dari lingkungan,
dalam upaya penyembuhannya dapat meminta bantuan psikolog yang membantu secara
kejiwaan serta berkonsultasi dengan pemuka agama agar mengetahui dalil-dalil
yang mengaturnya. (Winda Novtatika Anggraeni, 2013)
C.
Kedudukan Kaum Transgender Ditinjau dari Segi Etika
Dari segi sosial, pandangan masyarakat terhadap transgender terbagi
ke dalam jenis kaum esensalisme dan kontruksionisme. Menurut pandangan esensalisme,
transgender merupakan sesuatu yang berjalan di luar kewajaran, dianggap tidak
benar dan membawa keburukan sehingga sering dikucilkan. Sedangkan menurut
pandangan kaum konstruksionisme, transgender tidak melanggar etika
karena masih merupakan bagian dari masyarakat dengan berlandaskan kepada Hak
Asasi Manusia (HAM) sebagai bentuk perlindungan dari ketidakadilan yang sering
terjadi di dalam masyarakat. (Arni Rahmawati Fahmi Sholihah, 2011)
Tidak hanya
pengucilan dari masyarakat, perlakuan diskriminatif terhadap kaum transgender juga
terjadi dalam dunia kerja. Mereka tidak dapat secara leluasa bekerja dalam sektor-sektor
yang formal. Jika ada, mereka diharuskan untuk berpenampilan sebagai laki-laki
atau perempuan pada umumnya. Oleh karena itu, kebanyakan kaum transgender
menggantungkan kelangsungan hidupnya pada sektor-sektor non-formal, seperti usaha
salon atau dunia hiburan. Tetapi yang paling banyak adalah terperangkap dalam
dunia pelacuran (Koeswinarno, 2004)
Peranan dokter dan tenaga medis lainnya dalam operasi kelamin
status hukumnya disesuaikan dengan alasan yang berkaitan dengan kondisi dari
alat kelamin yang bersangkutan. Jika terbukti dengan sengaja menggagalkan
operasi tersebut, maka dokter dan tenaga medis melanggar kode etik profesinya.
D.
Transgender dan Kedudukannya Ditinjau dari Segi Hukum
Dalam skala internasional, United Nation Commision on Human Rights
telah menolak Human Rights and Sexual Orientation pada tahun 2005 dan
Economic and Social Council juga menolak untuk memberi status konsultatif
kepada International Lesbian and Gay Association (ILGA) pada tahun 2006.
Di Indonesia sendiri belum ada peraturan yang spesifik menjelaskan masalah
transgender, namun secara hukum kaum transgender memiliki hak yang sama dengan
manusia pada umumnya sesuai UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
(Arni Rahmawati Fahmi Sholihah, 2011).
Bagi kaum transgender yang telah menjalani operasi kelamin, status
kewarganegaraannya berubah (dalam sisi jenis kelamin) jika permohonan untuk
mengubah jenis kelaminnya tersebut disetujui oleh Hakim Pengadilan sesuai
aturan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu,
tidak ada masalah jika kaum transgender menikah selama ia menikah dengan jenis
kelamin yang berlawanan dan jenis kelaminnya yang sah dan terdaftar sesuai
dengan dokumen kependudukannya sesuai aturan dalam UU No. 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
E.
Transgender dan Kedudukannya Ditinjau dari Segi Agama
Menurut ajaran Protestan, transgender dianggap sebagai dosa karena
cenderung menolak ketetapan Tuhan. Namun, hal ini dianggap sebagai fenomena
yang terjadi bukan karena Tuhan yang menciptakan orang-orang seperti itu,
melainkan karena manusia sudah berdosa sejak semula (konsep dosa awal). Menurut
ajaran Katolik dalam KGK 2297, penggantian kelamin dianggap melanggar
penghormatan terhadap integritas tubuh manusia. Menurut KGK 369, pria dan
wanitalah diciptakan, artinya dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna
di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan
kewanitaannya. Ajaran Hindu memandang keberadaan tiga jenis kelamin, yaitu pums-prakriti
(pria), stri-prakriti (perempuan), tritiya-prakriti (seks ketiga). Jenis seks
ketiga ini terdiri dari shanda (male to female) dan shandi (female to male).
Karena adanya pengakuan, pemilik tritiya-prakriti diijinkan hidup bebas dan
terbuka. Contohnya dalam kisah Baratayudha terdapat masa dimana Arjuna berperan
sebagai Brihannala. Dengan begitu, operasi pergantian kelamin pun bebas
dilakukan. Ajaran Budha juga menyimpan akar kebudayaan Hindu yang menguasai
jenis kelamin ketiga. Siapapun yang telah banyak mengembangkan kebajikan dengan
badan, ucapan dan pikiran, setelah meninggal dunia mempunyai kesempatan
terlahir di alam bahagia tanpa terpengaruh oleh jenis kelamin. Meskipun begitu,
dalam tripitaka dinyatakan bahwa seorang waria tidak berhak ditasbihkan sebagai
bhiksu atau bhiksuni. (Arni Rahmawati Fahmi Sholihah, 2011)
Menurut pandangan Islam, transgender menimbulkan banyak kontra
terkait dengan kurangnya rasa syukur manusia terhadap penciptaan Allah melalui
tubuhnya. Dalam sebuah Hadits dijelaskan bahwa “Allah mengutuk laki-laki yang
menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad). Hadits
tersebut diperkuat dengan ayat Al-Qur’an terkait dengan transgender sebagai
salah satu bentuk mengubah ciptaan-Nya, Allah SWT berfirman: “dan saya (setan)
benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong
pada mereka (memotong telinga-telinga hewan ternak), lalu mereka benar-benar
memotongnya, dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), maka mereka
sungguh mengubahnya. Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung
selain dari Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (Q.S.
An-Nisaa: 119)
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam yang harus
diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern
dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi penggantian jenis
kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal;
(2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang
yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang
tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3) Operasi pembuangan salah satu dari
kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua
organ/jenis kelamin. (Winda Novtatika Anggraeni, 2013)
Operasi pertama diharamkan dalam Islam karena merupakan unsur
kesengajaan mengubah ciptaan Allah SWT. Sehingga, ketentuan terkait syariat
seperti shalat dan lainnya dikembalikan kepada kondisi kelamin semula. Operasi
nomor dua tentunya diperbolehkan, bahkan dianjurkan karena termasuk mengobati
dan menjaga kesehatan fisik. Operasi dalam kondisi ini tidak mendatangkan
masalah dalam hal syariat karena jenis kelamin yang bersangkutan tidak berubah.
Operasi nomor tiga diperbolehkan jika dilakukan dengan tujuan tashih (perbaikan)
atau takmil (penyempurnaan). Jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang
yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas kecenderungan sifat dan tingkah
lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan
status hukumnya menjadi lebih tegas dan mengacu pada status yang baru. (Abuddin
Nata, 2004)
Dokter dan tenaga medis harus bisa mengambil langkah yang tepat
dalam menjalankan tugasnya secara profesional, jika operasi tersebut dinyatakan
haram (dari segi agama) maka ia ikut berdosa karena termasuk “tolong-menolong
dalam dosa” dan jika sesuai syariat Islam dan diperbolehkan maka ia mendapat
pahala karena termasuk “bekerjasama dalam ketakwaan dan kebajikan.” (Q.S.
Al-Maidah: 2)
BAB III
PEMBAHASAN
Atsilah : Jika transgender yang dialami seseorang
didasari pada faktor hormonal, apakah masih menimbulkan sanksi moral dan agama?
Lalu, bagaimana sanksinya terhadap kasus transgender yang disebabkan oleh
faktor lingkungan?
Hingga saat ini, kaum transgender masih menjadi kaum minoritas yang
banyak mendapatkan sanksi moral berupa pengucilan dari masyarakat. Padahal kaum
transgender sendiri memiliki latar belakang masalah yang berbeda hingga
membuatnya menjadi transgender bahkan berani melakukan operasi kelamin. Jika
dipengaruhi oleh faktor hormonal, kaum transgender pasti akan lebih tertekan
dengan sanksi moral yang ia terima. Ia memutuskan untuk menjadi seorang
transgender karena tidak bisa menjalani kehidupannya secara normal, namun di
sisi lain ia terus mendapatkan kucilan dari masyarakat. Ia akan terus mengalami
gangguan hormonal ketika berniat untuk menghindari sanksi moral tersebut.
Berbeda dengan yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, pergaulan bebas dan trauma yang dialami
semasa kecil menjadikan kaum transgender berpikir bahwa lebih baik ia melakukan
transgender bahkan operasi kelamin meskipun keputusan yang ia ambil akan menimbulkan
pro dan kontra di lingkungan masyarakat. Dalam pandangan Islam pun tidak
dipermasalahkan selama masih dalam konteks memperbaiki dan menyempurnakan.
Sebaiknya memang masyarakat perlu memperbaiki pandangan buruknya terhadap kaum
transgender, karena tidak semua kasus transgender merupakan perbuatan yang
melanggar norma hukum dan agama.
Nabila : Bagaimana status dokter dan tenaga kesehatan
yang menggagalkan operasi kelamin? Adakah pasal UU yang mengatur kasus
transgender?
Kasus transgender diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman terkait dengan perizinan pemohonan kaum transgender untuk
melakukan perubahan status jenis kelamin. Kaum transgender sendiri memiliki hak
yang sama sesuai dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Negara
mengakui status dan kedudukan kaum transgender apabila setelah mendapat
perizinan dari Hakim Pengadilan yang bersangkutan bersedia untuk mengganti
semua dokumen kependudukannya sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
Status dokter dan tenaga kesehatan lain yang menggagalkan operasi
penggantian, perbaikan ataupun pembuangan salah satu kelamin diatur dalam pasal
24 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu:
(1) Tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode
etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional;
(2)
Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur oleh organisasi profesi.
Sehingga, mereka yang bisa dikatakan sebagai pelaku malpraktek (dalam
hal ini sengaja menggagalkan operasi kelamin) diberikan sanksi oleh pihak yang
bertanggung jawab terhadap pemberi layanan kesehatan dan oleh organisasi
profesi yang bersangkutan sesuai dengan kode etik yang dilanggar.
Saras : Apakah kaum transgender dikatakan sebagai
penduduk ilegal menurut UU No. 23 Tahun 2006?
Kaum transgender status kewarganegaraannya berubah dari sisi jenis
kelamin. Oleh karena itu, kaum transgender wajib melakukan penggantian jenis
kelamin pada dokumen kependudukannya sesuai dengan aturan pada UU No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan dan UU yang baru mengenai Perubahan Atas
UU No. 23 Tahun 2006 yaitu UU No. 24 Tahun 2013. Ia tidak dikatakan sebagai
penduduk yang ilegal selama mendapat persetujuan dari Hakim Pengadilan terkait pengubahan
jenis kelaminnya dan langsung mengurus dokumen kependudukannya yang baru.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari segi etika, operasi kelamin yang dilakukan kepada kaum
transgender oleh dokter dan tenaga medis bukan merupakan sebuah pelanggaran
kode etik, kecuali jika dokter dan tenaga kesehatan tersebut menggagalkan
operasinya dan masuk ke dalam kasus malpraktek. Dari segi etika sosial, masih
melanggar dan menimbulkan sanksi moral berupa pengucilan dari masyarakat. Dari
segi hukum, transgender diperbolehkan jika sudah ada izin dari Hakim Pengadilan
dan pemohon langsung mengurus dokumen kependudukannya yang baru. Dari segi
agama, transgender diharamkan karena termasuk tabdil dan taghyir,
yaitu mengubah ciptaan Allah kecuali ada alasan tertentu seperti berkelamin
ganda (khuntsa) dan cacat kelamin yang jika dibiarkan bisa berakibat
fatal terhadap kesehatan reproduksinya.
B.
Saran
Penulis memberikan saran bagi masyarakat untuk tidak mengucilkan
kaum transgender dan melihatnya dari sisi negatifnya saja. Indonesia juga harus
menyempurnakan hukum mengenai transgender agar status dan kedudukannya menjadi jelas.
Kita harus menjaga agar tidak terdapat banyak kesenjangan hak dan kewajiban
antara laki-laki dan perempuan yang membuat seseorang menjadi ingin melakukan
transgender dan operasi kelamin. Mendekatkan diri kepada Allah swt. adalah
jalan utama untuk lebih percaya diri, menerima segala kelebihan dan kekurangan,
serta mendalami ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai bentuk rasa syukur
terhadap apa yang telah diberikan oleh-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-qur’anul
Karim dan Al-Hadits.
2.
Arni
Rahmawati Fahmi Sholihah. Transseksualisme: Sex-Reassignment Surgery.
Institut Teknologi Bandung. 2011 Dec 12; Accessed on November 1st, 2014 at 4
p.m. Available from URL:
3.
Budge
Stephanie L, Tebbe, Esther N, Howard, Kimberly. The work experiences
of transgender individuals: Negotiating the transition and career
decision-making processes. A.S. Journal of Counseling Psychology. 2010 Oct;
57(4): 377-93. Downloaded on November 1st, 2014 at 2:33 p.m. Available from
URL:
4.
Ghalib,
Achmad. Rekonstruksi Pemikiran Islam. 1st. ed. Jakarta: UIN Jakarta
Press; 2005. 93-105 p.
5. Hariyanto,
Muhsin. Fenomena Transgender dan Hukum Operasi Kelamin. Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. 2011 Dec 21; Accessed on November 1st, 2014 at 8.51
p.m. Available from URL:
6.
Koeswinarno. Hidup Sebagai Waria. 1st. ed. Yogyakarta: Lkis; 2004. 15 p.
7.
Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan. Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender.
1992. 1 leaves.
8.
Mustika,
Andri Adi. Operasi Ganti Kelamin. Scribd. 2013 May 09; Downloaded on
November 1st, 2014 at 8:37 p.m. Available from URL:
9.
Nata,
Abuddin. Perspektif Islam tentang Pendidikan Kedokteran. 1st. ed.
Jakarta: UIN Jakarta Press; 2004. 196-205 p.
10.
Nugroho,
Riant. Gender dan Administrasi Publik. 1st. ed. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar; 2008. 30 p.
11.
Pulungan,
Suyuthi. Universalisme Islam. 1st. ed. Tuwah Muhammad dkk, editor. Jakarta: Moyo Segoro Agung; 2002. 255-61 p.
12.
UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 165. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886.
13.
UU
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 124. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4674.
14.
UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063.
15.
UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5076.
16.
UU
No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 232. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475.
17.
Winda
Novtatika Anggraeni. Tindakan Sosial Pemuka Agama Islam Terhadap Keberadaan Transgender. 2013. 5 p. Downloaded
on November 1st, 2014 at 2:48 p.m. Available from URL:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar