Desember 04, 2014

Filsafat dan Ilmu Logika: Keterpaduan Sains dan Agama dalam Perspektif Epistemologis, Ontologis dan Aksiologis


Keterpaduan Sains dan Agama dalam Perspektif
Epistemologis, Ontologis dan Aksiologis
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat dan Ilmu Logika
Dosen Pengampu: Ir. Sukrianto, M.A.


Logo_UIN_Syarif_Hidayatullah_Jakarta.jpg
Oleh:
Dwi Ayu Noviantari (11141010000001)
Nurul Farhanah Syah (11141010000002)
Nur Adinda Revidina Lubis (11141010000004)
Umi Kalsum (11141010000017)
Julius Prabowo (11141010000021)
Sofy Dwi Sefrani (11141010000059)
Saffanah Nuriyah (11141010000061)

Kelas:
I-A



PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H / 2014 M




KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum wr. wb.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah swt. yang telah memberikan petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan judul Keterpaduan Sains dan Agama dalam Perspektif Epistemologis, Ontologis dan Aksiologis. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. dan para keluarga serta sahabatnya.
Terima kasih kepada Bpk. Ir. Sukrianto, M.A. selaku dosen mata kuliah Filsafat dan Ilmu Logika program studi Kesehatan Masyarakat serta dosen-dosen pembimbing akademik yang telah bersedia membimbing kami hingga sekarang. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih juga kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Kami sadar bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembacanya. Amin..
Wassalamu alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2014


Tim Penyusun


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI........................................................................................................................... 3
BAB I: PENDAHULUAN
    A.    Latar Belakang..................................................................................................................... 4
    B.     Rumusan Masalah................................................................................................................ 5
    C.     Tujuan Penulisan.................................................................................................................. 5
BAB II: PEMBAHASAN
    A.    Reintegrasi Sains dengan Agama.......................................................................................... 6
    B.     Keterpaduan Sains dengan Agama dalam Perspektif Epistimologis
1.      Definisi Epistemologi........................................................................................ 6
2.      Analisis Proses Pembentukan Teori Ilmiah
a.       Proses Berpikir.................................................................................... 7
b.      Eksperimen dan Pengamatan Empiris (Observasi)................................. 7
c.       Kajian Teks Kitab Suci........................................................................ 8
    C.     Keterpaduan Sains dengan Agama dalam Perspektif Ontologis
1.      Definisi Ontologis............................................................................................. 8
2.      Pengaruh Metafisika terhadap Teori Ilmiah........................................................ 9
3.      Pengaruh Asumsi terhadap Teori Ilmiah............................................................. 9
4.      Peluang terhadap Kesimpulan Teori Ilmiah....................................................... 10
    D.    Keterpaduan Sains dengan Agama dalam Perspektif Aksiologis
1.      Definisi Aksiologis........................................................................................... 10
2.      Kaitan Sains dan Teknologi dengan Moral........................................................ 11
3.      Agama sebagai Bagian dari Bangunan Sains..................................................... 12
BAB III: PENUTUP
    A.    Kesimpulan.......................................................................................................................... 13
    B.     Saran................................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 14


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah swt. telah memberikan kita pilihan, bahkan pilihan untuk beriman atau ingkar kepada-Nya. Apapun pilihan akhirnya, kita harus bertanggung jawab terhadapnya, dalam arti menanggung segala konsekuensinya, termasuk terhadap pandangan dunia dan keilmuan kita.
Ketika ilmuwan Barat merasa ragu atau bahkan kehilangan kepercayaan pada realitas metafisik (alam ghaib), mereka pun bisa menjadi kaum sekuler. Paham sekuler ini pun memengaruhi pandangan keilmuan mereka sehingga mereka menciptakan sebuah sistem ilmu sekuler yang mereka sebut sebagai science sesuai dengan pandangan mereka. Tak heran jika di kalangan Barat terjadi sekulerisasi ilmu, dimana science dibatasi objek-objeknya hanya pada entitas fisik. Sejak masa itu sains tidak bisa dipisahkan dari sekuleritas, maka pandangan sains sekuler ini pun kemudian diadopsi oleh negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Sehingga, berkembanglah ilmu sekuler yang dikontraskan dengan ilmu agama.
Tak dapat dipungkiri bahwa cepat atau lambat paham sekulerisme akan merusak akidah seseorang yang taat kepada agamanya. Perkembangan zaman yang menuntut manusia untuk lebih produktif menjadi alasan kuat ketika orang Barat memisahkan sains dan agama. Di negara yang menganut paham sekulerisme, sering terjadi perdebatan antara pemuka agama dan ilmuwan. Pemuka agama beranggapan bahwa manusia perlu dibentengi oleh agama tanpa mengabaikan ilmu yang mereka miliki. Sedangkan ilmuwan beranggapan bahwa sesuatu yang tidak empiris tidak bisa dipercayai. Dari perdebatan tersebut, muncul gagasan tentang reintegrasi keterpaduan sains dan agama.
Dengan munculnya gagasan mengenai keterpaduan sains dan agama, tentu agama Islamlah yang telah memiliki konsep mengenai integrasi kedua hal tersebut. Kebenaran dalam Islam telah diperlihatkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya melalui firman-firman Allah swt yang disampaikan kepada Rasulullah saw. Inilah hal yang melatarbelakangi kami untuk menegaskan keterpaduan sains dan agama (Islam) dalam perspektif epistemologis, ontologis dan aksiologis.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang mendasari makalah ini, yaitu:
1.      Apa saja cara yang tepat untuk dilakukan dalam mereintegrasikan keterpaduan sains dengan agama?
2.      Bagaimana cara memperoleh sebuah ilmu? Apa saja yang perlu diperhatikan dalam memperoleh sebuah ilmu yang benar?
3.      Apa saja hakikat atau ruang lingkup yang harus ada dalam sebuah ilmu?
4.      Apakah ilmu mengandung nilai moral yang bermanfaat? Bagaimana cara yang tepat untuk mengaitkan sains dengan moral?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan umum yang ingin dicapai oleh penulis adalah untuk menegaskan keterpaduan sains dan agama. Tujuan khususnya yaitu:
1.      Mampu mengetahui cara yang tepat untuk mereintegrasikan keterpaduan sains dengan agama.
2.      Mampu menganalisis cara-cara ilmuwan dalam memperoleh ilmu yang benar.
3.      Mampu mengetahui ruang lingkup dan objek yang ada dalam sebuah ilmu yang benar.
4.      Mampu mengaitkan dan menjadikan ilmu sebagai pemberi nilai moral yang baik dan berdaya guna.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Reintegrasi Sains dengan Agama
Menurut kaum skeptis, ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi keyakinan, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai hal yang benar. Menurut kaum saintis, agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama dianggap terlalu emosional dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak dan objektif.
Pengertian integrasi sains dan teknologi dengan agama (Islam) adalah profesionalisme atau kompetensi dalam suatu bidang ilmu tertentu yang bersifat duniawi seiring dengan kesadaran ketuhanan. Secara konseptual Islam tidak mengenal pemisahan kesadaran ketuhanan dengan penguasaan sains dan teknologi. Sebaliknya, dalam Islam, sains dan teknologi dengan kesadaran ketuhanan merupakan dua hal yang menyatu.
Sebenarnya, yang dibutuhkan saat ini bukanlah tatanan filosofis dan konseptual, tetapi tatanan praktis untuk diimplementasikan. Untuk menyatukan sains dengan kesadaran ketuhanan, perlu adanya perombakan bangunan sains secara epistemologis dan ontologis sebagai upaya dalam membersihkan sains dari berbagai teori yang bertentangan dengan Islam. Koreksi dan substitusi harus dilakukan terhadap teori yang merupakan cerminan dari sistem kehidupan yang mengandung hadharah Barat.

B.     Keterpaduan Sains dengan Agama dalam Perspektif Epistemologis
1.      Definisi Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos berarti pikiran atau ilmu. Kata episteme dalam bahasa Yunani artinya menundukkan, menempatkan, atau meletakkan. Secara harfiah, episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.
Epistemologi sering disebut sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih memfokuskan pada makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dsb. Secara global, epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni hingga ilmu sosial.
2.      Analisis Proses Pembentukan Teori Ilmiah
a.       Proses Berpikir
Setiap makluk hidup di dunia ini memiliki otak. Namun, hanya manusia yang diberi akal oleh Allah swt. Dengan akal tersebut, manusia menjadi memiliki kemampuan menalar yang baik. Kemampuan tersebut dimanfaatkan manusia untuk mengembangkan pengetahuannya dan memperbaiki kualitas hidupnya.
Pembentukan teori ilmiah tidak terlepas dari adanya pengetahuan. Pada hakikatnya, pengetahuan merupakan segenap hal yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Salah satu proses memperoleh ilmu untuk memperoleh kesimpulan tentang suatu objek empiris adalah berpikir. Proses berpikir memiliki unsur-unsur, yaitu fakta/realitas (objek), indera manusia (alat penyerap fakta), otak (tempat hasil penyerapan fakta melalui indera), dan informasi yang sudah dimiliki yang berpengaruh terhadap proses dan hasil penyerapan fakta/realitas. Jika terdapat kesalahan penginderaan dan pemahaman fakta, maka muncullah kesalahan teori ilmiah.
Tak jarang memang dari berbagai teori ilmiah yang ada, banyak yang bertentangan dengan keyakinan Islam. Teori tersebut sebenarnya perlu dianalisis. Analisis proses pembentukan teori ilmiah dapat dilakukan dengan cara memahami lebih dalam lagi unsur-unsur proses berpikir ilmiah.
b.      Eksperimen dan Pengamatan Empiris (Observasi)
Analisis proses pembentukan teori ilmiah juga dapat dilakukan dengan metode eksperimen dan pengamatan empiris/observasi. Empiris adalah segala informasi yang diperoleh melalui eksperimen, penelitian dan observasi. Seperti yang telah kita ketahui, saat ini ilmu dan penelitian memiliki kiblat empiris. Segala penemuan dan bukti harus berdasarkan penelitian atau eksperimen secara indrawi.
Metode eksperimen merupakan penelitian yang membuktikan pengaruh sebuah variabel bebas terhadap variabel terikat. Observasi adalah sebuah tindakan atau bentuk perhatian terhadap fakta atau kejadian dengan tujuan ilmiah atau tujuan khusus lainnya. Metode observasi merupakan pengamatan terhadap realitas sebagai fakta, baik secara langsung mapun menggunakan alat bantu. Berdasarkan observasi tersebut, peneliti dapat mendeskripsikan atau menghubungkan antara satu variabel dengan variabel lain serta menyimpulkan hubungan dari keduanya. Dengan begitu, teori ilmiah tersebut tidak bertentangan dengan Islam.
c.       Kajian Teks Kitab Suci
Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Islam membawa petunjuk kebenaran dan kedamaian dalam hidup (Q.S. At-Taubah:33). Rasulullah saw. telah meninggalkan dua panduan yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Teks di dalam kitab suci sudah terbukti kebenarannya secara empiris, bahwa teks tersebut merupakan firman Allah dan Nabi Muhamamad saw. pun sudah terbukti kebenarannya sebagai utusan Allah swt. (pembawa al-Qur’an). Oleh karena itu, kajian tentang teks al-Qur’an atau al-Hadits merupakan bagian dari proses epistemologis, yakni proses untuk mengambil kesimpulan tentang hukum-hukum tertentu.
Sayangnya, masih ada sekelompok orang yang meragukan al-Qur’an, dengan alasan seperti menganggap al-Qur’an hanya sebagai produk budaya, mempertanyakan relevansi firman Allah dan Hadits Nabi, memandang kesetiaan terhadap dalil sebagai taklid gaya baru, tidak mau memahami inti ajaran Islam, meragukan keotentikan (keaslian) al-Qur’an, hingga sampai kepada meragukan kebenaran Islam dan meremehkan keesaan Allah swt. (نعوذ بالله من ذلك)

C.    Keterpaduan Sains dengan Agama dalam Perspektif Ontologis
1.      Definisi Ontologis
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yaitu ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (dari kata on menjadi being atau ada) dan logos berarti ilmu. Jadi, ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu manusia, alam, dan kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan.
Ontologi diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Objek ilmunya adalah dunia empiris yang dapat dijangkau oleh panca indera. Dengan demikian, objek ilmunya adalah pengalaman indrawi. Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (ada) dan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung oleh pernyataan Runes bahwa ontologi adalah teori tentang wujud.
2.      Pengaruh Metafisika terhadap Teori Ilmiah
Alfred J. Ayer menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak berguna, masalah yang diajukan dalam bidang metafisika bersifat semu. Luwig Winttgenstien juga menyatakan terdapat tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu:
a.       Subjeknya bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan sebagai batas dari dunia.
b.      Kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup untuk mengalami pengalaman kematian.
c.       Tuhan tidak menampakkan diri-Nya di dunia.
Sedangkan Albert Einstein merasa perlu membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan teori-teori ilmiah. Sumbangan metafisika terhadap ilmu pengetahuan yang tidak dapat disangkal lagi berada pada fundamental ontologisnya. Metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain ontologi merupakan salah satu dimensi dari metafisika. Oleh karena itu, metafisika dan ontologi menjadi dua hal yang saling terkait.
Berbagai perdebatan dalam metafisika mengenai realitas telah melahirkan berbagai pandangan yang berbeda satu sama lain, yang secara otomatis juga melahirkan berbagai aliran dan pemahaman baru. Berkaitan dengan pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan bagaimana cara berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang bersifat enigmatik (tak tentu), hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang tinggi. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama sebagai kebenaran yang paling akhir.
3.      Pengaruh Asumsi terhadap Teori Ilmiah
Aspek metafisika yang melekat dalam diri seorang ilmuwan akan melahirkan asumsi tentang sebuah realitas. Asumsi merupakan kata kunci untuk memahami sebuah pernyataan dan kesimpulan dari teori ilmiah. Asumsi merupakan praanggapan tentang sesuatu, baik secara tersurat maupun tersirat yang mencerminkan idelogis tertentu.
Dalam filsafat ilmu, pembahasan asumsi sering terfokus pada asumsi tentang manusia, alam semesta dan asumsi tentang realitas lainnya. Banyak teori ilmiah yang dibangun atas dasar asumsi tentang manusia. Ketika seorang ahli ilmu politik mengasumsikan bahwa manusia adalah sebuah entitas yang serakah dan cenderung berkuasa, maka ilmu politik didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari proses mencapai kekuasaan yang dilakukan seseorang serta pembagian kekuasaan di antara sejumlah orang.
   Proses penetapan peraturan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara juga sangat tergantung pada asumsi tentang manusia. Ketika sekelompok orang mengasumsikan bahwa manusia merupakan entitas yang independen dan tidak terkait dengan otoritas Allah swt. maka pengaturan kehidupan ditetapkan oleh kemauan manusia itu sendiri. Dalam sebuah penelitian ilmiah, asumsi menjadi pegangan dasar ketika peneliti sedang merumuskan, menguji hipotesis, serta menarik kesimpulan ilmiah.
4.      Peluang terhadap Kesimpulan Teori Ilmiah
Di dalam dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah ada hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya ada kesimpulan yang probabilistik, yaitu yang menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk bersifat deterministik (terpengaruh). Dari sudut keilmuan, hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Namun, ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan, kata akhir dari suatu keputusan terletak di tangan manusia sebagai pengambil keputusan itu sendiri dan bukan pada teori-teori keilmuannya. Artinya, kesimpulan teori ilmiah pada dasarnya dapat bernilai benar ataupun salah.

D.    Keterpaduan Sains dengan Agama dalam Perspektif Aksiologis
1.      Definisi Aksiologis
Kata aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu axios dan logos. Axios berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi berarti teori tentang nilai. Menurut Jujun S. Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh seseorang. Aksiologi disamakan dengan value and valuation (nilai dan penilaian) yang terdiri dari tiga bentuk. Pertama, nilai merupakan kata benda abstrak, baik dalam arti sempit maupun luas. Kedua, nilai sebagai kata benda yang konkret. Ketiga, nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ungkapan menilai dan dinilai.
Dalam filsafat, teori tentang nilai mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, mempelajari perilaku manusia ditinjau dari baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang normatif. Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
2.      Kaitan Sains dan Teknologi dengan Moral
Sains, teknologi dan moral adalah kata-kata yang memiliki makna berbeda namun saling melengkapi dan berhubungan erat dengan manusia. Baik atau buruknya sains dan teknologi sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral para penggunanya. Contohnya peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat sebagai bentuk penyalahgunaan sains dan teknologi yang maju (pada zamannya) karena tidak memikirkan dampaknya terhadap manusia yang tinggal di Hiroshima dan Nagasaki.
Masalah tersebut membuat para ilmuwan yang menciptakan sains dan teknologi membagi dua pandangan mengenai sains dan teknologi. Pertama, ilmuwan memandang bahwa sains dan teknologi harus bersifat netral dan terbebas dari berbagai masalah yang dialami penggunanya. Kedua, ilmuwan memandang bahwa netralitas sains dan teknologi hanya pada proses penemuannya saja, tetapi bahan penelitian sains dan teknologi tersebut harus berlandaskan pada nilai-nilai moral yang ditujukan untuk kebaikan manusia.
Pencapaian keuntungan materi merupakan salah satu nilai yang hendak diperoleh dari proses penelitian ilmiah. Pada dasarnya, pengembangan sejumlah teori ilmiah melalui proses renungan yang sejalan dengan ajaran agama (Islam) untuk memecahkan masalah umat manusia bisa terdorong oleh nilai moral dan tanggung jawab dengan jujur, objektif, amanah dan hanya mencari ridha Allah swt. semata.

3.      Agama sebagai Bagian dari Bangunan Sains
Dalam pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisik yang sama. Tujuan pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah mengungkapkan ayat-ayat Allah swt. dan sifat-Nya kepada umat manusia. Jadi, kita dapat mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama, dengan catatan bahwa ia memiliki metodologi dan bahasanya sendiri.
Para sarjana Muslim menekankan bahwa motivasi di balik upaya pencarian ilmu alam dan matematis adalah untuk mengetahui ayat-ayat Allah swt. di alam semesta. Dalam pandangan mereka, setiap bidang ilmu menunjukkan satu dimensi ciptaan Allah swt. dan ilmu tersebut memiliki kesatuan organis. Al-Qur’an sendiri telah memperingatkan umat manusia bahwa kajian tentang alam dapat membawa manusia dari penciptaan kepada Sang Pencipta, jika manusia memiliki modal iman kepada-Nya. Allah swt. bersabda:
“Katakanlah, Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Q.S. Yunus: 101)
Dengan dasar ini, maka ketika ilmuwan mendekati alam dengan iman kepada Allah swt., imannya akan diperkuat oleh kegiatan dan temuan ilmiahnya. Jika tidak demikian, maka kajian tentang alam tidak akan membawanya kepada Allah swt. Di lain pihak, keyakinan religius dapat memberikan motivasi yang baik bagi kerja ilmiah.
Keyakinan agama dapat memberikan motivasi yang baik bagi kerja ilmiah. Kemudian efek lain yang dapat ditimbulkan agama terhadap sains adalah di wilayah penerapan sains. Agama dapat berfungsi untuk mengorientasikan sains pada arah penguatan kapasitas spritual manusia dan mencegah penggunaan sains bagi tujuan yang bersifat negatif. Oleh karena itu, agama patut dianggap sebagai bagian penting (pondasi) dari bangunan sains.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wacana integrasi antara sains dan agama sudah cukup lama diusung. Keterpaduan sains dengan agama sebenarnya hanya memerlukan sudut pandang Islam dalam melihat berbagai persoalan. Yang perlu menjadi perhatian bersama adalah ketika mengusung sudut pandang Islam, kita harus mampu keluar dari kotak sempit menuju dunia yang luas dan bersifat mondial. Artinya, menguntungkan bagi seluruh umat manusia karena Islam memang mengatur seluruh urusan dunia. Islam tidak terhenti pada penggalian dan pendalaman materi sebagai objek sains, kesimpulan, teori, dan hukum, melainkan secara mendalam berusaha mengetahui jejak-jejak Sang Pencipta.

B.     Saran
Sebagai umat Muslim, dalam berpikir kita harus lebih memahami dengan menyerap fakta-fakta yang benar. Kita harus mengetahui bagaimana epistemologi dari fakta yang kita lihat dan pahami. Perkembangan serta aplikasi sains dan teknologi yang kita gunakan harus sesuai dengan nilai moral dan agama yang kita anut. Kontrol terhadap moral dan agama tersebut menjadi acuan kita dalam menggunakan dan mengaplikasikan sains dan teknologi untuk diri kita sendiri di lingkungan keluarga dan masyarakat. Inilah saatnya untuk merombak bangunan sains sekuler dan menganalisis proses pembentukan teori ilmiah Barat (bentuk epistemologis), menganalisis cakupan ilmu dan teori ilmiah Barat yang bertentangan dengan keyakinan Islam (bentuk ontologis) dan berusaha menerapkan moral yang baik dalam pemanfaatan sains dan teknologi berbasis Islam (bentuk aksiologis).



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Golshani, Mehdi. 2004. Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains. Terjemahan Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan.
Maman, U. 2012. Pola Berpikir Sains: Membangkitkan Kembali Tradisi Keilmuan Islam. Bogor: QMM Publishing.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.
Suhartono, Suparlan, dan Ilyya Muhsin. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pancaraintan Indahgraha.

Sumber internet:
Detyas, Anggi. 2013. “Ontologi: Hakikat yang Dikaji.” diakses dari http://www.anggidetyas.wordpress.com/tag/filsafat-ilmu/ pada 03 Desember 2014 pkl. 20.22 WIB
Humaerah, Auni Fitri. 2011. “Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan” diakses dari http://aunihumaerah.blogspot.com/2011/11/hubungan-moral-dengan-ilmu-pengetahuan.html?m=1 pada 02 Desember 2014 pkl. 22.43 WIB
Lusy. 2008. “Ontologi (Metafisika, Asumsi dan Peluang)” diakses dari http://www.lusytekpend.blogspot.com/2008/01/pengembangan-media-berbasis-ko-mputer.html pada 03 Desember 2014 pkl. 20.19 WIB
Siahaan, Dermon. 2013. “Pengaruh Epistemiologi” diakses dari http://ebookcollage.blogspot.com/2013/06/pengaruh-epistemologi.html pada 03 Desember 2014 pkl. 21.13 WIB
Sumarto. 2006. “Konsep Dasar Berpikir: Pengantar ke Arah Berpikir Ilmiah” diunduh dari http://eprints.upnjatim.ac.id/2327/1/sumarto_2.pdf  pada 02 Desember 2014 pkl. 21.37 WIB
Wahyudi, Abu Mushlih Ari. 2012. “Ketika Kitab Suci Tak Lagi Dihormati” diakses dari http://muslim.or.id/manhaj/ketika-kitab-suci-tak-lagi-dihormati.html pada 03 Desember 2014 pkl. 14.14 WIB
Winarto, Joko. 2011. “Hubungan Ilmu Pengetahuan dengan Moral (Agama)” diakses dari http://m.kompasiana.com/post/read/371242/2/hubungan-ilmu-pengetahuan-dengan-moral-dan-agama/ pada 02 Desember 2014 pkl. 22.35 WIB