Keterpaduan
Sains dan Agama dalam Perspektif
Epistemologis, Ontologis dan
Aksiologis
Makalah ini ditujukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat dan Ilmu Logika
Dosen Pengampu:
Ir. Sukrianto, M.A.

Oleh:
Dwi Ayu
Noviantari (11141010000001)
Nurul Farhanah
Syah (11141010000002)
Nur Adinda
Revidina Lubis (11141010000004)
Umi Kalsum
(11141010000017)
Julius Prabowo
(11141010000021)
Sofy Dwi
Sefrani (11141010000059)
Saffanah
Nuriyah (11141010000061)
Kelas:
I-A
PROGRAM
STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H / 2014 M
KATA
PENGANTAR
Assalamu alaikum wr. wb.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada
Allah swt. yang telah memberikan petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
bisa menyelesaikan makalah ini dengan judul Keterpaduan Sains dan Agama dalam Perspektif Epistemologis, Ontologis
dan Aksiologis. Shalawat serta
salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. dan para keluarga serta
sahabatnya.
Terima kasih kepada Bpk. Ir. Sukrianto,
M.A. selaku dosen mata kuliah Filsafat dan Ilmu Logika program studi Kesehatan
Masyarakat serta dosen-dosen pembimbing akademik yang telah bersedia membimbing
kami hingga sekarang. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih juga kepada seluruh
pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Kami sadar bahwa penyusunan makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik dan
saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembacanya. Amin..
Wassalamu
alaikum wr. wb.
Jakarta, Desember 2014
Tim Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................................................... 1
KATA
PENGANTAR............................................................................................................. 2
DAFTAR
ISI........................................................................................................................... 3
BAB
I: PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang..................................................................................................................... 4
B.
Rumusan
Masalah................................................................................................................ 5
C.
Tujuan
Penulisan.................................................................................................................. 5
BAB
II: PEMBAHASAN
A.
Reintegrasi
Sains dengan Agama.......................................................................................... 6
B.
Keterpaduan
Sains dengan Agama dalam Perspektif Epistimologis
1.
Definisi
Epistemologi........................................................................................ 6
2.
Analisis
Proses Pembentukan Teori Ilmiah
a.
Proses
Berpikir.................................................................................... 7
b.
Eksperimen
dan Pengamatan Empiris (Observasi)................................. 7
c.
Kajian
Teks Kitab Suci........................................................................ 8
C.
Keterpaduan
Sains dengan Agama dalam Perspektif Ontologis
1.
Definisi
Ontologis............................................................................................. 8
2.
Pengaruh
Metafisika terhadap Teori Ilmiah........................................................ 9
3.
Pengaruh
Asumsi terhadap Teori Ilmiah............................................................. 9
4.
Peluang
terhadap Kesimpulan Teori Ilmiah....................................................... 10
D.
Keterpaduan
Sains dengan Agama dalam Perspektif Aksiologis
1.
Definisi
Aksiologis........................................................................................... 10
2.
Kaitan
Sains dan Teknologi dengan Moral........................................................ 11
3.
Agama
sebagai Bagian dari Bangunan Sains..................................................... 12
BAB
III: PENUTUP
A.
Kesimpulan.......................................................................................................................... 13
B.
Saran...................................................................................................................................
13
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................................. 14
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah swt. telah memberikan kita pilihan, bahkan
pilihan untuk beriman atau ingkar kepada-Nya. Apapun pilihan akhirnya, kita
harus bertanggung jawab terhadapnya, dalam arti menanggung segala
konsekuensinya, termasuk terhadap pandangan dunia dan keilmuan kita.
Ketika ilmuwan Barat merasa ragu atau bahkan
kehilangan kepercayaan pada realitas metafisik (alam ghaib), mereka pun bisa
menjadi kaum sekuler. Paham sekuler ini pun memengaruhi pandangan keilmuan
mereka sehingga mereka menciptakan sebuah sistem ilmu sekuler yang mereka sebut
sebagai science sesuai dengan pandangan mereka. Tak heran jika di kalangan
Barat terjadi sekulerisasi ilmu, dimana science dibatasi objek-objeknya hanya
pada entitas fisik. Sejak masa itu sains tidak bisa dipisahkan dari
sekuleritas, maka pandangan sains sekuler ini pun kemudian diadopsi oleh negara
di seluruh dunia termasuk Indonesia. Sehingga, berkembanglah ilmu sekuler yang
dikontraskan dengan ilmu agama.
Tak dapat dipungkiri bahwa cepat atau lambat paham
sekulerisme akan merusak akidah seseorang yang taat kepada agamanya.
Perkembangan zaman yang menuntut manusia untuk lebih produktif menjadi alasan
kuat ketika orang Barat memisahkan sains dan agama. Di negara yang menganut
paham sekulerisme, sering terjadi perdebatan antara pemuka agama dan ilmuwan.
Pemuka agama beranggapan bahwa manusia perlu dibentengi oleh agama tanpa
mengabaikan ilmu yang mereka miliki. Sedangkan ilmuwan beranggapan bahwa
sesuatu yang tidak empiris tidak bisa dipercayai. Dari perdebatan tersebut,
muncul gagasan tentang reintegrasi keterpaduan sains dan agama.
Dengan munculnya gagasan mengenai keterpaduan sains
dan agama, tentu agama Islamlah yang telah memiliki konsep mengenai integrasi
kedua hal tersebut. Kebenaran dalam Islam telah diperlihatkan oleh Allah swt.
dan Rasul-Nya melalui firman-firman Allah swt yang disampaikan kepada
Rasulullah saw. Inilah hal yang melatarbelakangi kami untuk menegaskan
keterpaduan sains dan agama (Islam) dalam perspektif epistemologis, ontologis dan
aksiologis.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang
mendasari makalah ini, yaitu:
1.
Apa saja cara yang tepat untuk dilakukan
dalam mereintegrasikan keterpaduan sains dengan agama?
2.
Bagaimana cara memperoleh sebuah
ilmu? Apa saja yang perlu diperhatikan dalam memperoleh sebuah ilmu yang benar?
3.
Apa saja hakikat atau ruang lingkup
yang harus ada dalam sebuah ilmu?
4.
Apakah ilmu mengandung nilai moral
yang bermanfaat? Bagaimana cara yang tepat untuk mengaitkan sains dengan moral?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan umum
yang ingin dicapai oleh penulis adalah untuk menegaskan keterpaduan sains dan
agama. Tujuan khususnya yaitu:
1.
Mampu mengetahui cara yang tepat
untuk mereintegrasikan keterpaduan sains dengan agama.
2.
Mampu menganalisis cara-cara ilmuwan
dalam memperoleh ilmu yang benar.
3.
Mampu mengetahui ruang lingkup dan
objek yang ada dalam sebuah ilmu yang benar.
4.
Mampu mengaitkan dan menjadikan ilmu
sebagai pemberi nilai moral yang baik dan berdaya guna.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Reintegrasi Sains dengan Agama
Menurut kaum skeptis, ilmiah sering
mengatakan agama dilandaskan pada asumsi keyakinan, sedangkan sains tidak mau
menerima begitu saja segala sesuatu sebagai hal yang benar. Menurut kaum
saintis, agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains
bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama dianggap terlalu emosional dan
subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak dan objektif.
Pengertian integrasi sains dan
teknologi dengan agama (Islam) adalah profesionalisme atau kompetensi dalam
suatu bidang ilmu tertentu yang bersifat duniawi seiring dengan kesadaran
ketuhanan. Secara konseptual Islam tidak mengenal pemisahan kesadaran ketuhanan
dengan penguasaan sains dan teknologi. Sebaliknya, dalam Islam, sains dan
teknologi dengan kesadaran ketuhanan merupakan dua hal yang menyatu.
Sebenarnya, yang dibutuhkan saat ini
bukanlah tatanan filosofis dan konseptual, tetapi tatanan praktis untuk
diimplementasikan. Untuk menyatukan sains dengan kesadaran ketuhanan, perlu
adanya perombakan bangunan sains secara epistemologis dan ontologis sebagai
upaya dalam membersihkan sains dari berbagai teori yang bertentangan dengan
Islam. Koreksi dan substitusi harus dilakukan terhadap teori yang merupakan
cerminan dari sistem kehidupan yang mengandung hadharah Barat.
B.
Keterpaduan Sains dengan Agama dalam Perspektif Epistemologis
1.
Definisi
Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos
berarti pikiran atau ilmu. Kata episteme dalam bahasa Yunani artinya
menundukkan, menempatkan, atau meletakkan. Secara harfiah, episteme
berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam
kedudukan setepatnya.
Epistemologi sering disebut sebagai
teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih memfokuskan pada
makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, kriteria pengetahuan,
jenis pengetahuan, dsb. Secara global, epistemologi mengatur semua aspek studi
manusia, dari filsafat dan ilmu murni hingga ilmu sosial.
2.
Analisis
Proses Pembentukan Teori Ilmiah
a.
Proses
Berpikir
Setiap makluk
hidup di dunia ini memiliki otak. Namun, hanya manusia yang diberi akal oleh
Allah swt. Dengan akal tersebut, manusia menjadi memiliki kemampuan menalar
yang baik. Kemampuan tersebut dimanfaatkan manusia untuk mengembangkan
pengetahuannya dan memperbaiki kualitas hidupnya.
Pembentukan
teori ilmiah tidak terlepas dari adanya pengetahuan. Pada hakikatnya,
pengetahuan merupakan segenap hal yang kita ketahui tentang suatu objek
tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Salah satu proses memperoleh ilmu
untuk memperoleh kesimpulan tentang suatu objek empiris adalah berpikir. Proses
berpikir memiliki unsur-unsur, yaitu fakta/realitas (objek), indera manusia (alat
penyerap fakta), otak (tempat hasil penyerapan fakta melalui indera), dan
informasi yang sudah dimiliki yang berpengaruh terhadap proses dan hasil
penyerapan fakta/realitas. Jika terdapat kesalahan penginderaan dan pemahaman
fakta, maka muncullah kesalahan teori ilmiah.
Tak jarang memang
dari berbagai teori ilmiah yang ada, banyak yang bertentangan dengan keyakinan
Islam. Teori tersebut sebenarnya perlu dianalisis. Analisis proses pembentukan
teori ilmiah dapat dilakukan dengan cara memahami lebih dalam lagi unsur-unsur
proses berpikir ilmiah.
b.
Eksperimen
dan Pengamatan Empiris (Observasi)
Analisis proses pembentukan teori ilmiah juga dapat dilakukan
dengan metode eksperimen dan pengamatan empiris/observasi. Empiris adalah
segala informasi yang diperoleh melalui eksperimen, penelitian dan observasi.
Seperti yang telah kita ketahui, saat ini ilmu dan penelitian memiliki kiblat
empiris. Segala penemuan dan bukti harus berdasarkan penelitian atau eksperimen
secara indrawi.
Metode
eksperimen merupakan penelitian yang membuktikan pengaruh sebuah variabel bebas
terhadap variabel terikat. Observasi adalah sebuah tindakan atau bentuk
perhatian terhadap fakta atau kejadian dengan tujuan ilmiah atau tujuan khusus
lainnya. Metode observasi merupakan pengamatan terhadap realitas sebagai fakta,
baik secara langsung mapun menggunakan alat bantu. Berdasarkan observasi
tersebut, peneliti dapat mendeskripsikan atau menghubungkan antara satu
variabel dengan variabel lain serta menyimpulkan hubungan dari keduanya. Dengan
begitu, teori ilmiah tersebut tidak bertentangan dengan Islam.
c.
Kajian
Teks Kitab Suci
Islam adalah
satu-satunya agama yang benar. Islam membawa petunjuk kebenaran dan kedamaian
dalam hidup (Q.S. At-Taubah:33). Rasulullah saw. telah meninggalkan dua panduan
yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Teks di dalam kitab suci sudah terbukti
kebenarannya secara empiris, bahwa teks tersebut merupakan firman Allah dan
Nabi Muhamamad saw. pun sudah terbukti kebenarannya sebagai utusan Allah swt.
(pembawa al-Qur’an). Oleh karena itu, kajian tentang teks al-Qur’an atau al-Hadits
merupakan bagian dari proses epistemologis, yakni proses untuk mengambil
kesimpulan tentang hukum-hukum tertentu.
Sayangnya,
masih ada sekelompok orang yang meragukan al-Qur’an, dengan alasan seperti menganggap
al-Qur’an hanya sebagai produk budaya, mempertanyakan relevansi firman Allah
dan Hadits Nabi, memandang kesetiaan terhadap dalil sebagai taklid gaya baru, tidak
mau memahami inti ajaran Islam, meragukan keotentikan (keaslian) al-Qur’an, hingga
sampai kepada meragukan kebenaran Islam dan meremehkan keesaan Allah swt. (نعوذ بالله من ذلك)
C.
Keterpaduan Sains dengan Agama dalam Perspektif Ontologis
1.
Definisi
Ontologis
Ontologi terdiri
dari dua suku kata, yaitu ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud (dari kata on menjadi being atau ada) dan logos
berarti ilmu. Jadi, ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat
keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan
hukum sebab akibat yaitu manusia, alam, dan kausa prima dalam suatu hubungan
yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan.
Ontologi
diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Objek ilmunya
adalah dunia empiris yang dapat dijangkau oleh panca indera. Dengan demikian,
objek ilmunya adalah pengalaman indrawi. Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
hakikat sesuatu yang berwujud (ada) dan berdasarkan pada logika semata.
Pengertian ini didukung oleh pernyataan Runes bahwa ontologi adalah teori
tentang wujud.
2.
Pengaruh
Metafisika terhadap Teori Ilmiah
Alfred
J. Ayer menyatakan bahwa sebagian besar
perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak dahulu sesungguhnya tidak
dapat dipertanggungjawabkan dan tidak berguna, masalah yang diajukan dalam
bidang metafisika bersifat semu. Luwig Winttgenstien juga menyatakan terdapat
tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu:
a.
Subjeknya
bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan
sebagai batas dari dunia.
b.
Kematian
bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup untuk mengalami
pengalaman kematian.
c.
Tuhan
tidak menampakkan diri-Nya di dunia.
Sedangkan Albert
Einstein merasa perlu membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi
dari penemuan teori-teori ilmiah. Sumbangan metafisika terhadap ilmu
pengetahuan yang tidak dapat disangkal lagi berada pada fundamental
ontologisnya. Metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan
lain ontologi merupakan salah satu dimensi dari metafisika. Oleh karena itu,
metafisika dan ontologi menjadi dua hal yang saling terkait.
Berbagai
perdebatan dalam metafisika mengenai realitas telah melahirkan berbagai
pandangan yang berbeda satu sama lain, yang secara otomatis juga melahirkan
berbagai aliran dan pemahaman baru. Berkaitan dengan pembentukan minat
intelektual, maka metafisika mengajarkan bagaimana cara berpikir yang serius
dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang bersifat enigmatik
(tak tentu), hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang tinggi.
Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama
sebagai kebenaran yang paling akhir.
3.
Pengaruh
Asumsi terhadap Teori Ilmiah
Aspek metafisika
yang melekat dalam diri seorang ilmuwan akan melahirkan asumsi tentang sebuah
realitas. Asumsi merupakan kata kunci untuk memahami sebuah pernyataan dan
kesimpulan dari teori ilmiah. Asumsi merupakan praanggapan tentang sesuatu,
baik secara tersurat maupun tersirat yang mencerminkan idelogis tertentu.
Dalam filsafat
ilmu, pembahasan asumsi sering terfokus pada asumsi tentang manusia, alam semesta
dan asumsi tentang realitas lainnya. Banyak teori ilmiah yang dibangun atas
dasar asumsi tentang manusia. Ketika seorang ahli ilmu politik mengasumsikan
bahwa manusia adalah sebuah entitas yang serakah dan cenderung berkuasa, maka
ilmu politik didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari proses mencapai
kekuasaan yang dilakukan seseorang serta pembagian kekuasaan di antara sejumlah
orang.
Proses penetapan peraturan bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara juga sangat tergantung pada asumsi tentang manusia.
Ketika sekelompok orang mengasumsikan bahwa manusia merupakan entitas yang
independen dan tidak terkait dengan otoritas Allah swt. maka pengaturan
kehidupan ditetapkan oleh kemauan manusia itu sendiri. Dalam sebuah penelitian
ilmiah, asumsi menjadi pegangan dasar ketika peneliti sedang merumuskan, menguji
hipotesis, serta menarik kesimpulan ilmiah.
4.
Peluang
terhadap Kesimpulan Teori Ilmiah
Di dalam dasar teori keilmuan di dunia ini
tidak akan pernah ada hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya ada kesimpulan
yang probabilistik, yaitu yang menunjukkan
sesuatu memiliki kesempatan untuk bersifat deterministik (terpengaruh). Dari sudut keilmuan, hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa
ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak. Namun, ilmu memberikan pengetahuan sebagai
dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus
didasarkan pada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan, kata
akhir dari suatu keputusan terletak di tangan manusia sebagai pengambil
keputusan itu sendiri dan bukan pada teori-teori keilmuannya. Artinya,
kesimpulan teori ilmiah pada dasarnya dapat bernilai benar ataupun salah.
D.
Keterpaduan Sains dengan Agama dalam Perspektif Aksiologis
1.
Definisi
Aksiologis
Kata aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu axios dan logos.
Axios berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi
berarti teori tentang nilai. Menurut Jujun S. Suriasumantri, aksiologi
adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh seseorang. Aksiologi disamakan dengan value and valuation
(nilai dan penilaian) yang terdiri dari tiga bentuk. Pertama, nilai merupakan
kata benda abstrak, baik dalam arti sempit maupun luas. Kedua, nilai sebagai
kata benda yang konkret. Ketiga, nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam
ungkapan menilai dan dinilai.
Dalam filsafat, teori tentang nilai mengacu pada permasalahan etika
dan estetika. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk,
mempelajari perilaku manusia ditinjau dari baik dan tidak baik dalam suatu
kondisi yang normatif. Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di
sekelilingnya.
2.
Kaitan
Sains dan Teknologi dengan Moral
Sains,
teknologi dan moral adalah kata-kata yang memiliki makna berbeda namun saling
melengkapi dan berhubungan erat dengan manusia. Baik atau buruknya sains dan
teknologi sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral para
penggunanya. Contohnya peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh
Amerika Serikat sebagai bentuk penyalahgunaan sains dan teknologi yang maju (pada
zamannya) karena tidak memikirkan dampaknya terhadap manusia yang tinggal di
Hiroshima dan Nagasaki.
Masalah
tersebut membuat para ilmuwan yang menciptakan sains dan teknologi membagi dua
pandangan mengenai sains dan teknologi. Pertama, ilmuwan memandang bahwa sains
dan teknologi harus bersifat netral dan terbebas dari berbagai masalah yang
dialami penggunanya. Kedua, ilmuwan memandang bahwa netralitas sains dan
teknologi hanya pada proses penemuannya saja, tetapi bahan penelitian sains dan
teknologi tersebut harus berlandaskan pada nilai-nilai moral yang ditujukan
untuk kebaikan manusia.
Pencapaian
keuntungan materi merupakan salah satu nilai yang hendak diperoleh dari proses
penelitian ilmiah. Pada dasarnya, pengembangan sejumlah teori ilmiah melalui
proses renungan yang sejalan dengan ajaran agama (Islam) untuk memecahkan
masalah umat manusia bisa terdorong oleh nilai moral dan tanggung jawab dengan
jujur, objektif, amanah dan hanya mencari ridha Allah swt. semata.
3.
Agama
sebagai Bagian dari Bangunan Sains
Dalam pandangan
Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisik yang sama. Tujuan pengetahuan
yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah mengungkapkan
ayat-ayat Allah swt. dan sifat-Nya kepada umat manusia. Jadi, kita dapat
mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama, dengan
catatan bahwa ia memiliki metodologi dan bahasanya sendiri.
Para sarjana
Muslim menekankan bahwa motivasi di balik upaya pencarian ilmu alam dan
matematis adalah untuk mengetahui ayat-ayat Allah swt. di alam semesta. Dalam
pandangan mereka, setiap bidang ilmu menunjukkan satu dimensi ciptaan Allah
swt. dan ilmu tersebut memiliki kesatuan organis. Al-Qur’an sendiri telah
memperingatkan umat manusia bahwa kajian tentang alam dapat membawa manusia
dari penciptaan kepada Sang Pencipta, jika manusia memiliki modal iman kepada-Nya.
Allah swt. bersabda:
“Katakanlah,
Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda
kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang
tidak beriman.” (Q.S. Yunus:
101)
Dengan dasar
ini, maka ketika ilmuwan mendekati alam dengan iman kepada Allah swt., imannya
akan diperkuat oleh kegiatan dan temuan ilmiahnya. Jika tidak demikian, maka
kajian tentang alam tidak akan membawanya kepada Allah swt. Di lain pihak,
keyakinan religius dapat memberikan motivasi yang baik bagi kerja ilmiah.
Keyakinan agama
dapat memberikan motivasi yang baik bagi kerja ilmiah. Kemudian efek lain yang
dapat ditimbulkan agama terhadap sains adalah di wilayah penerapan sains. Agama
dapat berfungsi untuk mengorientasikan sains pada arah penguatan kapasitas
spritual manusia dan mencegah penggunaan sains bagi tujuan yang bersifat
negatif. Oleh karena itu, agama patut dianggap sebagai bagian penting (pondasi)
dari bangunan sains.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wacana integrasi antara sains dan
agama sudah cukup lama diusung. Keterpaduan sains dengan agama sebenarnya hanya
memerlukan sudut pandang Islam dalam melihat berbagai persoalan. Yang perlu
menjadi perhatian bersama adalah ketika mengusung sudut pandang Islam, kita
harus mampu keluar dari kotak sempit menuju dunia yang luas dan bersifat
mondial. Artinya, menguntungkan bagi seluruh umat manusia karena Islam memang mengatur
seluruh urusan dunia. Islam tidak terhenti pada penggalian dan pendalaman
materi sebagai objek sains, kesimpulan, teori, dan hukum, melainkan secara
mendalam berusaha mengetahui jejak-jejak Sang Pencipta.
B.
Saran
Sebagai umat Muslim,
dalam berpikir kita harus lebih memahami dengan menyerap fakta-fakta yang
benar. Kita harus mengetahui bagaimana epistemologi dari fakta yang kita lihat
dan pahami. Perkembangan serta aplikasi sains dan teknologi yang kita gunakan
harus sesuai dengan nilai moral dan agama yang kita anut. Kontrol terhadap
moral dan agama tersebut menjadi acuan kita dalam menggunakan dan
mengaplikasikan sains dan teknologi untuk diri kita sendiri di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Inilah
saatnya untuk merombak bangunan sains sekuler dan menganalisis proses
pembentukan teori ilmiah Barat (bentuk epistemologis), menganalisis cakupan
ilmu dan teori ilmiah Barat yang bertentangan dengan keyakinan Islam (bentuk ontologis)
dan berusaha menerapkan moral yang baik dalam pemanfaatan sains dan teknologi
berbasis Islam (bentuk aksiologis).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Golshani, Mehdi. 2004. Melacak
Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains. Terjemahan Ahsin
Muhammad. Bandung: Mizan.
Maman, U. 2012. Pola Berpikir
Sains: Membangkitkan Kembali Tradisi Keilmuan Islam. Bogor: QMM Publishing.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika
Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.
Suhartono, Suparlan, dan Ilyya
Muhsin. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pancaraintan Indahgraha.
Sumber internet:
Detyas,
Anggi. 2013. “Ontologi: Hakikat yang Dikaji.” diakses dari http://www.anggidetyas.wordpress.com/tag/filsafat-ilmu/ pada 03
Desember 2014 pkl. 20.22 WIB
Humaerah,
Auni Fitri. 2011. “Hubungan Moral
dengan Ilmu Pengetahuan” diakses dari http://aunihumaerah.blogspot.com/2011/11/hubungan-moral-dengan-ilmu-pengetahuan.html?m=1 pada 02
Desember 2014 pkl. 22.43 WIB
Lusy. 2008. “Ontologi (Metafisika, Asumsi dan Peluang)” diakses
dari http://www.lusytekpend.blogspot.com/2008/01/pengembangan-media-berbasis-ko-mputer.html pada 03 Desember 2014 pkl. 20.19 WIB
Siahaan, Dermon. 2013. “Pengaruh Epistemiologi” diakses dari http://ebookcollage.blogspot.com/2013/06/pengaruh-epistemologi.html pada 03 Desember 2014 pkl. 21.13 WIB
Sumarto.
2006. “Konsep Dasar Berpikir:
Pengantar ke Arah Berpikir Ilmiah” diunduh dari http://eprints.upnjatim.ac.id/2327/1/sumarto_2.pdf pada 02 Desember 2014 pkl. 21.37 WIB
Wahyudi, Abu Mushlih Ari. 2012. “Ketika Kitab Suci Tak Lagi
Dihormati” diakses dari http://muslim.or.id/manhaj/ketika-kitab-suci-tak-lagi-dihormati.html pada 03 Desember 2014 pkl. 14.14 WIB
Winarto,
Joko. 2011. “Hubungan Ilmu Pengetahuan
dengan Moral (Agama)” diakses dari http://m.kompasiana.com/post/read/371242/2/hubungan-ilmu-pengetahuan-dengan-moral-dan-agama/ pada 02
Desember 2014 pkl. 22.35 WIB